I was shuffling over random files in my laptop and found an essay on Camus I had made when I was in the US last year or maybe two. Time sure goes fast and I really like how fast it went and be forgotten, or not. Many memories, for the weird workings of human mind always puzzled me, will never be gone from our heart and clasped our very breath each time it rekindled like an old flame, bursting, the flower, the red color on the apple of our cheeks which brought shame and regret and the long face, the pout, and then tears. And how lucky was I that never once I shed a tear over those memories now, for as long as I remember after my arrival at home. By which it means that I must have accepted that it had happened and have little regret of it.
What for must I wallow the sorrow those memory brought forth? The lessons were taught and, do believe me, that I had learned. By far, by the writings of Camus again, I have learned to accept faith as it is and once more reminded that life itself will burst so bright nearing its end and then all was lost. For every life started, it will all end in death and that is how the world spins around. For men to accept its faith is the most excruciating of all mission they ever be sent to earth for. I always think why would God sent us here? What was his intention? Every answer muddled my mind even more, so I accept it the way it is and stop questioning whether God ever exist or not, that the Faith was a gift itself and for it I wouldn’t have to question no more.
And I wonder when I saw the tears on my grandmother’s face, of hearing her wails so bitter and caressed her contorted face which shrink and withered in an instant as such a dried plum will, and of hearing my aunt’s shouts of how it wasn’t a proper act a good Muslim woman should conduct on the death of their relative, even their own brother. Standing among those veiled saints was I without any veil nor a single thread to cover my hair, standing was I holding my mother which hold her own mother which tearing her clothes in throes of sorrow, and ponder how inhumane was it to not feel for it is a mean of defying the God. By God’s will that every men must die and such is the time of His choosing, for us, his good followers, the faith was bound to keep us from feeling the pain of losing our kin.
My grandmother is a good Muslim, in my opinion, in my knowledge which perhaps inferior and lacking in many aspects of judging, for it was biased by the link of our blood, but how her faith had failed to protect her from her sorrow moved me. As I saw her trying to keep the waters at bay, feigning a calculated measure; a straight face, for I if no one had told me or she not stayed too long, will never caught the scent of anguish, had my grandmother did not at once let the dam broke free and her measure broken. She, with all her dignity intact or not I never know, went weak on her knees and fell on the floor weeping at last a few minutes after the call informing the passing of my great-uncle.
The shouting started and I, for every ounce of respect I held for my elders, cannot bear the sight of my aunt shouting recitals of the holy book and reminding my grandmother that it is improper to cry, that it is an act which question the God. Then I question myself; what are the tears made for? What is the Faith given for?
Of what, as it is the most vital means of surviving, will protect us from sorrow if Faith fails to do so?
By means that her Faith was not polished to its highest degree, thus proven, that I, myself, shall experience a more terrible anguish had it was my own sister whom passes away before me, for my faith has never been the purest of form. My father, my mother, those I loved and how ugly was I to not shed a tear over a great-uncle whom once, or few times more, had hold me in his arms and praised me for my achievements. The emptiness plagued me and for many times I had pondered on the absent of tears, of how perhaps my ability to melancholy was reduced to a state of—but then again, what for? Shall I, again, shed tears as I have done many times before over the passing of those close to me? For death itself has gained such an effect on my mind, my soul torn every time it gets close by then it mends and heal itself. The death of a friend—nay, friends. Of those I once cherish. Those faces long forgotten now, for never once I looked back and mingle with the memory with great joy, but a troubled feeling of uneasiness.
As Camus had written over Sisyphus, once again I declare I am happy. As I was before, as I am now, as I will always be. Of vanity rebuked and the mind shackled, soon my soul will be broken if I intend on questioning everything instead of living the years life has given me. And as Keats had said, I shall seize the days. For the curtains of the unknown had peered over my shoulder and knocking at my door the hands of the damnedest soul, the fire of purgatory will touch my skin before I ever set my eyes upon the gates of Heaven. And for that, I am thankful.
Minggu, 28 Juni 2009
Minggu, 31 Mei 2009
Random Words
Dan di atas itu adalah judul paling nyebelin setiap gue ke blog orang, karena isinya pasti ngelantur dan gak menarik. Well, hunny, sekarang gue lagi nyebelin dan gak menarik. Kapan sih gue nggak, sebenernya? Tapi entah sejak kapan gue selalu perlu untuk menulis sesuatu, seakan kepala gue gak pernah bener-bener berhenti mikir suatu cerita, atau gue ngeliat apa langsung kerangkai kata-kat.
Ah, IH brengsek.
Gue suka lagi. Tapi lama-lama gue heran juga kenapa gue selalu ke sana, setahun sekarang, hampir. Ngapain juga? Karena gue seneng kalo ada yang bilang mereka menikmati tulisan gue. Dan kebiasaan buruk gue adalah gue gak pernah nyelesain apa pun yang gue mulai walaupun gue tahu gue bisa. Setiap gue lagi sibuk, gue selalu pengen nulis buku atau ngelukis sesuatu, tapi gak ada satu pun yang beres. Jadi di sana, di mana gue bisa nyicil cerita pake postingan pendek-pendek tapi udah cukup untuk membentuk cerita, menghidupkan karakter-karakter, dan orang menikmatinya, itu amat menyenangkan loh. Beda, emang, di dunia nyatanya juga banyak yang bilang suka tulisan gue.
Kecuali bokap gue.
Njrit. Sebel juga sih, gue bikin puisi lah, cerita lah, semua bilang suka, kecuali bokap gue. Bukan, bukan karena dia an a**hole, tapi karena dia emang gak ngerti. Titik. Dia gak ngerti. Yah, gak semua orang diciptakan untuk menikmati tulisan, bokap gue orangnya teknik banget. Gini yah, pernah waktu itu gue homesick banget pas di Amrik dan gue tulis satu puisi buat bokap gue. Berikut-berikutnya gue telpon, gue diceritain, nah bokap gue tuh gak ngerti maksud puisi gue apa, sampe akhirnya adek gue yang baca, translatein (sebenernya bokap gue juga bisa bahasa inggris mah) dan adek gue nangis. Terus nyokap gue juga nangis. Nah, baru abis itu bokap gue terharu--tapi ga sampe nangis.
...Hm.
Dan gue join itu forum juga karena diajakin aja, ga ada persiapan apa-apa, simply karena bahasa gue kaco, itu aja. Cerita on the spot semua, paling kepikiran plot juga sambil lalu, tapi gue selalu memimpikan mereka aja, karakter-karakter itu. Membayangkan di satu tempat ada seorang yang memiliki sifat kayak begitu. Beberapa bilang mereka itu bagian diri gue yang difragmentasi dan jadi hidup masing-masing, jawabannya? Gak mungkin. Gak mungkin cuma gue, serius, tapi juga sebagian orang-orang di sekitar gue. Contohnya... Bokap gue yang sebenernya Slytherin abis dan nyokap gue yang Hufflepuff abis. Sifatnya. Untung nyokap gue gak lemot, nyokap gue pinter men... Anak beasiswa dari dulu, kurang pinter apa? Katanya sih dia menang rajinnya, itu satu poin, tapi dia juga pinter.
Nyokap gue... Orangnya setia mampus, family-oriented. Dia sih pengennya sekarang pensiun aja, toh dia gak pernah mimpi muluk mau hidup kaya. Masa katanya dulu tuh cita-cita dia jadi pemilik lumbung padi, punya sawah banyak... Gue diem aja tuh, gatau mau komentar apa. Atau jadi penjahit, dulu seneng banget ngejahit baju sendiri. Atau jadi pramugari buat keliling dunia, tapi tinggi dia cuma 155. Pokoknya mimpi nyokap gue berkisar sekitaran situ deh. Bikin restoran kek (yang ini gue dukung abis, soalnya masakan dia enak XD), jualan kue, dsb. Abisan akhir-akhir ini dia kalo pulang kerja suka stress, dan gue tahu ortu gue suka berantem urusan bisnis keluarga. Dan nyokap selalu nyalahin ambisi bokap gue, dia sendiri sih maunya pensiun dan bergumul di rumah aja ngapain kek...
Hapel. Hapel abis. Tapi sebenernya mulut dia pedes loh, cuma nyokap gue polos sih, jadi terima kasih ya Allah, gak jadi parah itu mulut. Kalau kalian tahu aja keluarga dari nyokap--AAAAAGH! Slytherin abis itu semua... Mulutnya naujubillah, muka duanya lebih lagi, pengen gue gamparin. Untung bargaining point gue tinggi. Mau ngatain apa mereka? Nyokap gue udah sukses, keluarga gue adem ayem, emang mereka? Poligami, tapi miskin. Mau komentarin guenya gagal jadi cewek gak bisa masak, gak manis, gak ayu? Sini ngomong sendiri, gue masuk ITB mereka masuk apa? Lulus SMA aja kagak. Iya gue sombong, biarin, mereka ngatain nyokap gue yang nggak-nggak. Mau bilang dia gagal ngedidik anak? Emang anak mereka lebih bagus dari gue apa? Muka kumel, badan kontet--biasanya mulut gue disentil ama nyokap gue tiap abis ngomong gini (nyokap gue gak suka ngehina fisik, iya sih rendah banget, tapi nyokap gue masih oke kalau menghina sifat-sifat laen). Dan tiap pertemuan keluarga, gue nahan diri dan pasang senyum, atau pergi kabur, rasanya pengen gue jawab semua komentar mereka. Soalnya.... Mereka tuh mau nyindir ato muka dua tapi keliatan banget!!! AGH! Kalo mau nipu yang pinteran dikit kek! Gue juga sebel kali ditipu setengah-setengah!
Ada satu temen dari IH yang bilang ke gue; Prad, gak semua orang bisa ngerti, karena gak semua orang IQnya 120 ke atas. (Wah, random) Terus gue baru sadar. Darling, semua orang di sekitar gue IQnya 120 ke atas, 150 malah dan gue ini bego dibanding mereka. Macam makhluk seperti bokap dan adek gue yang bilang mereka menikmati fisika sementara gue muntah darah tiap kali harus ngerjain soal fisika. Tes USM kemaren aja gue gak isi soal-soal fisika sama sekali, daripada salah! Iya, separah itu. Semoga gue oke untuk fisika terapan, gue perlu, man!
Ah, kembali ke soal IQ. Adek gue selalu segan mau ngedit, ngritik tulisan gue kalo gue minta pendapat, karena dia bilang dia aja nulis masih gak becus. Tapi gue tahu dia hebat, dan gue percaya pendapat dia. Gitu halnya ke banyak orang, kalo mereka emang orangnya cerdas, pinter, dan bisa dipercaya, gue sangat menikmati kritikan mereka. Nah, tapi kalo orangnya bego? Hm... Maaf ya kalo gue kasar... (gak juga sih) Tapi gue kok cuma bisa senyam-senyum muka dua mode on tiap ada orang macam itu? Yang keabsahan penilaiannya amat diragukan ditilik dari kemampuan dia sendiri atau memang artikulasinya yang jelek? Bukan soal umur, darl, mau mereka lebih muda juga gue terima. Bahkan banyak orang yang jauh lebih muda dari gue yang gue amat kagumi. Ato misalnya temen-temen sekolah gue yang mereka tuh gak perlu ke luar negeri dulu kek gue untuk punya pikiran seterbuka itu. Tapi emang yah, orang macam... Ini selalu ada.
Yeah, yeah, gue bisa ngomong apa aja di sini. Toh gue hanya akan menohok mereka yang merasa. Dan peduli apa gue ama mereka, hm? Mau mereka mati juga paling gue kasih jari tengah. Yeah, mereka juga akan melakukan hal yang sama ke gue kayaknya karena begitulah dunia; kejem. Gue kejem, udah banyak yang bilang. Tapi ada aja kok yang bilang gue baek. Jadi itu relatif. Dan ini adalah satu pendapat relatif mengenai orang-orang yang pikirannya... Menjijikan buat gue. Piciknya menjijikan. Wah, gue udah berpindah ternyata, gak ngomongin soal tulisan gue lagi, tapi orang-orang keseluruhan. Yang gue suka dan yang gue nggak...
Hh. Mungkin udah saatnya gue pergi dan beneran nulis sesuatu. Biar penerbit aja yang ngerating tulisan gue dan mereka yang berkoar-koar tulisan gue menjijikan, nih, jari tengah. Ngapain juga beli buku gue kalo gitu? Hanya... Mimpi. Kapan coba gue bisa nulis buku beneran?
Random lagi...
Menurut gue ini gara-gara urusan IQ yang diomongin seorang temen gue itu. Iya, bener. Gak semua orang IQnya nyampe. Tapi masa iya sih? Ni target pembunuhan nomor 1 anaknya katanya pinter, kok? Gaaaaah... Gue kangen ni temen gue yang ngomen soal IQ itu =)) =)) I heart him, really...
DIA MANA SIH??!
Pergi. Muak, katanya. Bukan ama gue. Tapi karena gue gak bisa pergi, ya dia bye2 baik-baik, gue mohon-mohon juga dia pasti pergi. Aduh email terakhir juga... ._________. *jadi pengen nangis* Gue juga eneg. Eneg. Padahal dia bukan tipe yang baca buku, but he likes what I wrote... Ini waktunya gue juga pergi?
Gue pengen clayshot. Beneran pengen. Gak perlu muffler atopun kacamata pelindung, just gimme the gun and throw the object. BANG!
Adek. Adek gue tuh apa yah? Gryff, Huffle, Raven, atau Slyth? Raven. Kata gue sih. Ah, tau ga sih dia bilang apa tentang gue? Dia suka gue yang sekarang. Gue aja udah lupa kapan terakhir gue berantem ama dia... Dulu ya, rasanya gampang banget kita berantem. Selalu berakhir dengan adek gue nangis; katanya omongan gue tuh bisa jahat banget. Gak perlu pukul-pukulan, jambak-jambakan, cukup kata-kata. Jahat banget sih gue.... Maaf ya, Ino.
Kontrol diri gue sekarang udah jauh lebih baik, sebenernya, walaupun pilihan kata gue dan jalan pikiran gue mungkin lebih kejem dibandingin masa dulu, dulu gue masih lebih polos dan bego, tapi sekarang lebih kekontrol. Di sekolah gak ada yang ngira gue pemarah, udah beda banget deh! Paling ada sih satu dua yang pernah gue kelepasan. Kalau orang lihat bagian dalemnya sih serem, kali yah...
By the way, ini kayaknya minggu yang aneh deh. Mantan gue dua-duanya menghubungi gue lagi. Gak gue tanggepin lah. Yang satu udah mulai sayang-sayangan lagi... Yang satu; gue bilang ke dia gue lesbi aja biar dia diem. Yeah, that bad. Mereka sebenernya kenal gue dalemnya gak sih? Gue tau sih cara untuk mendapatkan mereka balik (pede amat ya?) tapi yah... Mengerikan ah.
Gue membayangkan seorang kribo yang memuka dua-i gue, berbaik di depan dan menghujat di belakang. Tahukah dia gue tahu? Pedulikah gue? Sepeduli itu ama kecoak kah? Iya peduli, karena gue pengen di depan dia ngasi jari tengah dan ngatain dia... Sekaliiii aja XD Beneran, gue pengen liat dia nangis mengampun. Gara-gara hal kecil... Hm. The old monster is back, I guess. Gue inget dulu, karena hal sepele begini gue bikin adek gue sendiri bercucuran air mata. Masa gue gak mampu sih ke kecoak beginian?
Kontrol diri, kontrol diri...
Salah gak sih? Gue gak mau dikritik jelek ama orang jelek, gak mau dibilang bego sama orang bego. Sombong emang. So? Hak apa mereka bilang ke gue gitu duluan? Ini, sayang, jari tengah.
Ah, IH brengsek.
Gue suka lagi. Tapi lama-lama gue heran juga kenapa gue selalu ke sana, setahun sekarang, hampir. Ngapain juga? Karena gue seneng kalo ada yang bilang mereka menikmati tulisan gue. Dan kebiasaan buruk gue adalah gue gak pernah nyelesain apa pun yang gue mulai walaupun gue tahu gue bisa. Setiap gue lagi sibuk, gue selalu pengen nulis buku atau ngelukis sesuatu, tapi gak ada satu pun yang beres. Jadi di sana, di mana gue bisa nyicil cerita pake postingan pendek-pendek tapi udah cukup untuk membentuk cerita, menghidupkan karakter-karakter, dan orang menikmatinya, itu amat menyenangkan loh. Beda, emang, di dunia nyatanya juga banyak yang bilang suka tulisan gue.
Kecuali bokap gue.
Njrit. Sebel juga sih, gue bikin puisi lah, cerita lah, semua bilang suka, kecuali bokap gue. Bukan, bukan karena dia an a**hole, tapi karena dia emang gak ngerti. Titik. Dia gak ngerti. Yah, gak semua orang diciptakan untuk menikmati tulisan, bokap gue orangnya teknik banget. Gini yah, pernah waktu itu gue homesick banget pas di Amrik dan gue tulis satu puisi buat bokap gue. Berikut-berikutnya gue telpon, gue diceritain, nah bokap gue tuh gak ngerti maksud puisi gue apa, sampe akhirnya adek gue yang baca, translatein (sebenernya bokap gue juga bisa bahasa inggris mah) dan adek gue nangis. Terus nyokap gue juga nangis. Nah, baru abis itu bokap gue terharu--tapi ga sampe nangis.
...Hm.
Dan gue join itu forum juga karena diajakin aja, ga ada persiapan apa-apa, simply karena bahasa gue kaco, itu aja. Cerita on the spot semua, paling kepikiran plot juga sambil lalu, tapi gue selalu memimpikan mereka aja, karakter-karakter itu. Membayangkan di satu tempat ada seorang yang memiliki sifat kayak begitu. Beberapa bilang mereka itu bagian diri gue yang difragmentasi dan jadi hidup masing-masing, jawabannya? Gak mungkin. Gak mungkin cuma gue, serius, tapi juga sebagian orang-orang di sekitar gue. Contohnya... Bokap gue yang sebenernya Slytherin abis dan nyokap gue yang Hufflepuff abis. Sifatnya. Untung nyokap gue gak lemot, nyokap gue pinter men... Anak beasiswa dari dulu, kurang pinter apa? Katanya sih dia menang rajinnya, itu satu poin, tapi dia juga pinter.
Nyokap gue... Orangnya setia mampus, family-oriented. Dia sih pengennya sekarang pensiun aja, toh dia gak pernah mimpi muluk mau hidup kaya. Masa katanya dulu tuh cita-cita dia jadi pemilik lumbung padi, punya sawah banyak... Gue diem aja tuh, gatau mau komentar apa. Atau jadi penjahit, dulu seneng banget ngejahit baju sendiri. Atau jadi pramugari buat keliling dunia, tapi tinggi dia cuma 155. Pokoknya mimpi nyokap gue berkisar sekitaran situ deh. Bikin restoran kek (yang ini gue dukung abis, soalnya masakan dia enak XD), jualan kue, dsb. Abisan akhir-akhir ini dia kalo pulang kerja suka stress, dan gue tahu ortu gue suka berantem urusan bisnis keluarga. Dan nyokap selalu nyalahin ambisi bokap gue, dia sendiri sih maunya pensiun dan bergumul di rumah aja ngapain kek...
Hapel. Hapel abis. Tapi sebenernya mulut dia pedes loh, cuma nyokap gue polos sih, jadi terima kasih ya Allah, gak jadi parah itu mulut. Kalau kalian tahu aja keluarga dari nyokap--AAAAAGH! Slytherin abis itu semua... Mulutnya naujubillah, muka duanya lebih lagi, pengen gue gamparin. Untung bargaining point gue tinggi. Mau ngatain apa mereka? Nyokap gue udah sukses, keluarga gue adem ayem, emang mereka? Poligami, tapi miskin. Mau komentarin guenya gagal jadi cewek gak bisa masak, gak manis, gak ayu? Sini ngomong sendiri, gue masuk ITB mereka masuk apa? Lulus SMA aja kagak. Iya gue sombong, biarin, mereka ngatain nyokap gue yang nggak-nggak. Mau bilang dia gagal ngedidik anak? Emang anak mereka lebih bagus dari gue apa? Muka kumel, badan kontet--biasanya mulut gue disentil ama nyokap gue tiap abis ngomong gini (nyokap gue gak suka ngehina fisik, iya sih rendah banget, tapi nyokap gue masih oke kalau menghina sifat-sifat laen). Dan tiap pertemuan keluarga, gue nahan diri dan pasang senyum, atau pergi kabur, rasanya pengen gue jawab semua komentar mereka. Soalnya.... Mereka tuh mau nyindir ato muka dua tapi keliatan banget!!! AGH! Kalo mau nipu yang pinteran dikit kek! Gue juga sebel kali ditipu setengah-setengah!
Ada satu temen dari IH yang bilang ke gue; Prad, gak semua orang bisa ngerti, karena gak semua orang IQnya 120 ke atas. (Wah, random) Terus gue baru sadar. Darling, semua orang di sekitar gue IQnya 120 ke atas, 150 malah dan gue ini bego dibanding mereka. Macam makhluk seperti bokap dan adek gue yang bilang mereka menikmati fisika sementara gue muntah darah tiap kali harus ngerjain soal fisika. Tes USM kemaren aja gue gak isi soal-soal fisika sama sekali, daripada salah! Iya, separah itu. Semoga gue oke untuk fisika terapan, gue perlu, man!
Ah, kembali ke soal IQ. Adek gue selalu segan mau ngedit, ngritik tulisan gue kalo gue minta pendapat, karena dia bilang dia aja nulis masih gak becus. Tapi gue tahu dia hebat, dan gue percaya pendapat dia. Gitu halnya ke banyak orang, kalo mereka emang orangnya cerdas, pinter, dan bisa dipercaya, gue sangat menikmati kritikan mereka. Nah, tapi kalo orangnya bego? Hm... Maaf ya kalo gue kasar... (gak juga sih) Tapi gue kok cuma bisa senyam-senyum muka dua mode on tiap ada orang macam itu? Yang keabsahan penilaiannya amat diragukan ditilik dari kemampuan dia sendiri atau memang artikulasinya yang jelek? Bukan soal umur, darl, mau mereka lebih muda juga gue terima. Bahkan banyak orang yang jauh lebih muda dari gue yang gue amat kagumi. Ato misalnya temen-temen sekolah gue yang mereka tuh gak perlu ke luar negeri dulu kek gue untuk punya pikiran seterbuka itu. Tapi emang yah, orang macam... Ini selalu ada.
Yeah, yeah, gue bisa ngomong apa aja di sini. Toh gue hanya akan menohok mereka yang merasa. Dan peduli apa gue ama mereka, hm? Mau mereka mati juga paling gue kasih jari tengah. Yeah, mereka juga akan melakukan hal yang sama ke gue kayaknya karena begitulah dunia; kejem. Gue kejem, udah banyak yang bilang. Tapi ada aja kok yang bilang gue baek. Jadi itu relatif. Dan ini adalah satu pendapat relatif mengenai orang-orang yang pikirannya... Menjijikan buat gue. Piciknya menjijikan. Wah, gue udah berpindah ternyata, gak ngomongin soal tulisan gue lagi, tapi orang-orang keseluruhan. Yang gue suka dan yang gue nggak...
Hh. Mungkin udah saatnya gue pergi dan beneran nulis sesuatu. Biar penerbit aja yang ngerating tulisan gue dan mereka yang berkoar-koar tulisan gue menjijikan, nih, jari tengah. Ngapain juga beli buku gue kalo gitu? Hanya... Mimpi. Kapan coba gue bisa nulis buku beneran?
Random lagi...
Menurut gue ini gara-gara urusan IQ yang diomongin seorang temen gue itu. Iya, bener. Gak semua orang IQnya nyampe. Tapi masa iya sih? Ni target pembunuhan nomor 1 anaknya katanya pinter, kok? Gaaaaah... Gue kangen ni temen gue yang ngomen soal IQ itu =)) =)) I heart him, really...
DIA MANA SIH??!
Pergi. Muak, katanya. Bukan ama gue. Tapi karena gue gak bisa pergi, ya dia bye2 baik-baik, gue mohon-mohon juga dia pasti pergi. Aduh email terakhir juga... ._________. *jadi pengen nangis* Gue juga eneg. Eneg. Padahal dia bukan tipe yang baca buku, but he likes what I wrote... Ini waktunya gue juga pergi?
Gue pengen clayshot. Beneran pengen. Gak perlu muffler atopun kacamata pelindung, just gimme the gun and throw the object. BANG!
Adek. Adek gue tuh apa yah? Gryff, Huffle, Raven, atau Slyth? Raven. Kata gue sih. Ah, tau ga sih dia bilang apa tentang gue? Dia suka gue yang sekarang. Gue aja udah lupa kapan terakhir gue berantem ama dia... Dulu ya, rasanya gampang banget kita berantem. Selalu berakhir dengan adek gue nangis; katanya omongan gue tuh bisa jahat banget. Gak perlu pukul-pukulan, jambak-jambakan, cukup kata-kata. Jahat banget sih gue.... Maaf ya, Ino.
Kontrol diri gue sekarang udah jauh lebih baik, sebenernya, walaupun pilihan kata gue dan jalan pikiran gue mungkin lebih kejem dibandingin masa dulu, dulu gue masih lebih polos dan bego, tapi sekarang lebih kekontrol. Di sekolah gak ada yang ngira gue pemarah, udah beda banget deh! Paling ada sih satu dua yang pernah gue kelepasan. Kalau orang lihat bagian dalemnya sih serem, kali yah...
By the way, ini kayaknya minggu yang aneh deh. Mantan gue dua-duanya menghubungi gue lagi. Gak gue tanggepin lah. Yang satu udah mulai sayang-sayangan lagi... Yang satu; gue bilang ke dia gue lesbi aja biar dia diem. Yeah, that bad. Mereka sebenernya kenal gue dalemnya gak sih? Gue tau sih cara untuk mendapatkan mereka balik (pede amat ya?) tapi yah... Mengerikan ah.
Gue membayangkan seorang kribo yang memuka dua-i gue, berbaik di depan dan menghujat di belakang. Tahukah dia gue tahu? Pedulikah gue? Sepeduli itu ama kecoak kah? Iya peduli, karena gue pengen di depan dia ngasi jari tengah dan ngatain dia... Sekaliiii aja XD Beneran, gue pengen liat dia nangis mengampun. Gara-gara hal kecil... Hm. The old monster is back, I guess. Gue inget dulu, karena hal sepele begini gue bikin adek gue sendiri bercucuran air mata. Masa gue gak mampu sih ke kecoak beginian?
Kontrol diri, kontrol diri...
Salah gak sih? Gue gak mau dikritik jelek ama orang jelek, gak mau dibilang bego sama orang bego. Sombong emang. So? Hak apa mereka bilang ke gue gitu duluan? Ini, sayang, jari tengah.
Selasa, 12 Mei 2009
Fine
Fine.
Fine, fine.....
It's fine................
.....................................FINE.
.......Nah, it's fine.......
....................................................................................
Hell yeah, I'm fine..................
.................................fine.........
Fine.
......................................Okay, fine.
.....GEEZ! FINE!
...............................................................Hhh.... fine.
....................HAHHAHA!! Fine.
Fine, thank you..............................................
No, it's fine.....
............................................................................................
.................................................................................
..........................................................
......................................
I'm fine.
Fuck, I'm fine.
Fine, fine.....
It's fine................
.....................................FINE.
.......Nah, it's fine.......
....................................................................................
Hell yeah, I'm fine..................
.................................fine.........
Fine.
......................................Okay, fine.
.....GEEZ! FINE!
...............................................................Hhh.... fine.
....................HAHHAHA!! Fine.
Fine, thank you..............................................
No, it's fine.....
............................................................................................
.................................................................................
..........................................................
......................................
I'm fine.
Fuck, I'm fine.
Selasa, 21 April 2009
CCTV
Gue online. Lagi Ujian Nasional, iye gue tahu. Gue lewat di ruang tamu ber-CCTV bawa novel yang disamarkan jadi buku pelajaran... Asal ga buka laptop, gue aman. Asal kamar gue ga dipasangin CCTV gue aman.
Asal blog ini ga ketahuan ortu gue, gue AMAN.
*Ketawa stress* Najes, rumah gue berasa apaan ada 3 CCTV yang gue lupa keberadaannya sampe tadi dibahas lagi. Iya, saat Smansa heboh karena beberapa kelas dipasangin kamera pengawas, gue sudah melewati itu semua dan idup di rumah ber-CCTV. Bukan, bukan karena rumah gue gede dan isinya berharga atau penghuninya mantan napi semua. Bukan, bukan, cuma karena BOKAP gue pengen aja. Ga ada kerjaan. Mana bisa diliat di internet pula... BUAT APA COBA??? =)) Katanya sih biar kalo lagi keluar kota, dia bisa ngecek rumah kapan aja. Dengan bangga bokap gue nunjukkin gambar gerbang, ruang tamu, dan kamar kerja dia (zona merah berkamera) saat kita lagi di Hongkong, di Malaysia, pas ke Bali kemaren, pas ke Thai dulu... Bahkan waktu gue di amrik, dia suruh gue buka web alamat CCTVnya yang servernya ada di rumah.
Iya, rumah gue ada server 24-jamnya.
Bokap gue moderator beberapa forum temu kangen ama temen2 lamanya, berdua ama nyokap. Dua-duanya punya friendster, facebook, ym, myspace, apalah... Mereka ikut semuanya. Pastinya gue juga segaul mereka kan?
NGGAK! Justru gue parno karena mereka ada di mana-mana dan bisa mengakses gue kapanpun lewat jalan manapun! Mereka bisa tahu rahasia temen2 gue yang curhat di frenster ato fb yang bahkan ortu mereka aja gatau. Gimana gue ga parno coba??
Oh, Tuhan. Blog ini adalah satu-satunya tempat aman bagi gue karena ortu gue GATAU alamat blog gue =)) Laptop gue digerendel dengan bejibun password aneh supaya ortu gue ga bisa buka. Gue ga pernah buka blog gue selaen di laptop, kalopun pake laptop bokap, pasti gue apus alamatnya dari history. Kamar gue berbagi dengan adek gue, which means kalo gue simpen diari, bisa dibuka dengan mudah, sapa tau pembantu gue beres2 dan bukunya nyasar ke tempat adek gue. Bahaya, udah gitu males. Lagian buku diari keknya rada-rada jaman pertengahan gituh rasanya... Gue males nulis teratur.
Anyway, gue masih parno tapi tetep aja buka inet. Sbodo. Long gone the time waktu gue kalap saat tahu wajah gue terpampang di sebuah album online keluaran bokap gue yang gak gue tahu keberadaannya sampe seorang temen gue bilang dia baru liat website gue. Website apaan? Tanya gue waktu itu. "Website narsis elo, isinya foto elo semua..." Na-najes. Gue langsung tahu itu kerjaan bokap gue. Astagfirullah =)) Kurang kerjaan amat... Dan sekarang gue sedang menghadapi anceman nyokap untuk segera bikin FB karena kalo nggak mereka akan buatin buat gue... Dan mereka bisa masang foto2 gue dong?
ASTAGA TIDAK! =))
Gue bukannya gimana2 ya... Tapi lo tahu ga sih rasanya kalo ortu lo begitu ngebet pengen bisa add FB elo supaya bisa komen wall-to-wall gitu? Kalo ga diapprove nanti gue jadi anak durhaka dong! Oke, kembali ke topik CCTV awal. Tadi tuh kan gue dijemput di skul abis UN (mana ketahuan lagi ngeliatin dagangan abang2 penjual dvd game di depan sekolah pula) dan diboyong untuk cari makan oleh kedua ortu + adek gue. Mereka baru abis dari dokter, ade gue di-ct scan soalnya ia sakit kepala mulu dan diduga ada pembengkakan saluran cairan otak atau pembuluh darah meibi. Yah, ga stroke ini, jangan sampe deh. Dan ternyata ct scan itu mahal sekali, sodara-sodara! Ade gue yang pelit naujubile dan amat mahir memanfaatkan orang tua kami agar dia ga perlu keluarin duit jajan itu sampe shock dan bilang ke nyokap gue kalo lebih baik tagihannya diambil dari tabungan dia aja. Kalo perlu dicicil. Eh, ngga ding. Bayar tunai. Soalnya dia tajir banget sih, beda ama gue =))
Ternyata gen lebai tidak melewati adek gue--walo sebenernya keluarga gue tuh justru sangat anti-lebai, kami adalah kontra-nya lebai. Sangat down-to-earth, mellow, liat aja nih gue lagi mo UN masih sante... Bokap gue juga orngnya sante... Ade gue--BEUH--bisa ga mandi dia seharian nongkrong nonton tv kabel ato maen game. Hanya nyokap gue yang lebai. Nah, itu anomali =)) Untuk menetralisir kelebaian nyokap gue, maka kami semua menjadi manusia vegetatif yang amat pasif. Tadi itu ade gue menunjukkan trait lebai yang cukup signifikan.
Shit. Nyokap gue pulang. Off dulu. Bye, lanjut ntar.
Asal blog ini ga ketahuan ortu gue, gue AMAN.
*Ketawa stress* Najes, rumah gue berasa apaan ada 3 CCTV yang gue lupa keberadaannya sampe tadi dibahas lagi. Iya, saat Smansa heboh karena beberapa kelas dipasangin kamera pengawas, gue sudah melewati itu semua dan idup di rumah ber-CCTV. Bukan, bukan karena rumah gue gede dan isinya berharga atau penghuninya mantan napi semua. Bukan, bukan, cuma karena BOKAP gue pengen aja. Ga ada kerjaan. Mana bisa diliat di internet pula... BUAT APA COBA??? =)) Katanya sih biar kalo lagi keluar kota, dia bisa ngecek rumah kapan aja. Dengan bangga bokap gue nunjukkin gambar gerbang, ruang tamu, dan kamar kerja dia (zona merah berkamera) saat kita lagi di Hongkong, di Malaysia, pas ke Bali kemaren, pas ke Thai dulu... Bahkan waktu gue di amrik, dia suruh gue buka web alamat CCTVnya yang servernya ada di rumah.
Iya, rumah gue ada server 24-jamnya.
Bokap gue moderator beberapa forum temu kangen ama temen2 lamanya, berdua ama nyokap. Dua-duanya punya friendster, facebook, ym, myspace, apalah... Mereka ikut semuanya. Pastinya gue juga segaul mereka kan?
NGGAK! Justru gue parno karena mereka ada di mana-mana dan bisa mengakses gue kapanpun lewat jalan manapun! Mereka bisa tahu rahasia temen2 gue yang curhat di frenster ato fb yang bahkan ortu mereka aja gatau. Gimana gue ga parno coba??
Oh, Tuhan. Blog ini adalah satu-satunya tempat aman bagi gue karena ortu gue GATAU alamat blog gue =)) Laptop gue digerendel dengan bejibun password aneh supaya ortu gue ga bisa buka. Gue ga pernah buka blog gue selaen di laptop, kalopun pake laptop bokap, pasti gue apus alamatnya dari history. Kamar gue berbagi dengan adek gue, which means kalo gue simpen diari, bisa dibuka dengan mudah, sapa tau pembantu gue beres2 dan bukunya nyasar ke tempat adek gue. Bahaya, udah gitu males. Lagian buku diari keknya rada-rada jaman pertengahan gituh rasanya... Gue males nulis teratur.
Anyway, gue masih parno tapi tetep aja buka inet. Sbodo. Long gone the time waktu gue kalap saat tahu wajah gue terpampang di sebuah album online keluaran bokap gue yang gak gue tahu keberadaannya sampe seorang temen gue bilang dia baru liat website gue. Website apaan? Tanya gue waktu itu. "Website narsis elo, isinya foto elo semua..." Na-najes. Gue langsung tahu itu kerjaan bokap gue. Astagfirullah =)) Kurang kerjaan amat... Dan sekarang gue sedang menghadapi anceman nyokap untuk segera bikin FB karena kalo nggak mereka akan buatin buat gue... Dan mereka bisa masang foto2 gue dong?
ASTAGA TIDAK! =))
Gue bukannya gimana2 ya... Tapi lo tahu ga sih rasanya kalo ortu lo begitu ngebet pengen bisa add FB elo supaya bisa komen wall-to-wall gitu? Kalo ga diapprove nanti gue jadi anak durhaka dong! Oke, kembali ke topik CCTV awal. Tadi tuh kan gue dijemput di skul abis UN (mana ketahuan lagi ngeliatin dagangan abang2 penjual dvd game di depan sekolah pula) dan diboyong untuk cari makan oleh kedua ortu + adek gue. Mereka baru abis dari dokter, ade gue di-ct scan soalnya ia sakit kepala mulu dan diduga ada pembengkakan saluran cairan otak atau pembuluh darah meibi. Yah, ga stroke ini, jangan sampe deh. Dan ternyata ct scan itu mahal sekali, sodara-sodara! Ade gue yang pelit naujubile dan amat mahir memanfaatkan orang tua kami agar dia ga perlu keluarin duit jajan itu sampe shock dan bilang ke nyokap gue kalo lebih baik tagihannya diambil dari tabungan dia aja. Kalo perlu dicicil. Eh, ngga ding. Bayar tunai. Soalnya dia tajir banget sih, beda ama gue =))
Ternyata gen lebai tidak melewati adek gue--walo sebenernya keluarga gue tuh justru sangat anti-lebai, kami adalah kontra-nya lebai. Sangat down-to-earth, mellow, liat aja nih gue lagi mo UN masih sante... Bokap gue juga orngnya sante... Ade gue--BEUH--bisa ga mandi dia seharian nongkrong nonton tv kabel ato maen game. Hanya nyokap gue yang lebai. Nah, itu anomali =)) Untuk menetralisir kelebaian nyokap gue, maka kami semua menjadi manusia vegetatif yang amat pasif. Tadi itu ade gue menunjukkan trait lebai yang cukup signifikan.
Shit. Nyokap gue pulang. Off dulu. Bye, lanjut ntar.
Jumat, 17 April 2009
Belajar Merelakan
Yeap, kalian tuh yah... Belajarlah merelakan gue lulus usm please =))
Gini deh, hari ini yang paling bikin gue siyok adalah saat gue mendapat sebuah IM dari seseorang yang isinya kayak begini:
doll_dodol: nanya dong
Gue: apa say?
doll_dodol: *emot muntah*
doll_dodol: itb itb itb...dapet gak?
Gue: ?
Dapet arsi XD
doll_dodol: *emot nangis*
Gue: knapa >D kok nangis sih
doll_dodol: kok lo dapet sih
Gue: JAH *ngakak gegulingan*
KOK LO KEK GA SENENG SIH
doll_dodol: yah kalo ada elo disana, gw gak semangat ngejar itb nih
Gue: MAKSUD LO???
gue dah kerja keras nih men *emot ngakak*
doll_dodol: *pura pura percaya*
Gue: apaan sih
gara2 gue banyak maen ye?
doll_dodol: begitulah kira kira
Dan dari perbincangan singkat itu, gue mengais-ais ingatan dan menyadari kalau emang banyak orang yang sepertinya geger banget gue keterima :| A-apakah gue semeragukan itu ya penampilannya? Emang sih gue gak kayak anak laen yang pada belajar ampe serius tiap hari sedangkan gue ngenet mulu. Tapi pas USM kemaren gue all out, men! Heran gue juga, gak pernah gue seniat itu mengerjakan sesuatu (selaen mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan kesukaan gue) apalagi SIMAK UI untuk jurusan Arsi aja gue gak keterima. Gue nangis loh pas tau keterima ITB, nyokap gue juga, kita lompat-lompat kayak orang sarap. Paling bokap gue aja yang cuma nyengir puas, soalnya dia satu-satunya yang yakin gue akan keterima di ITB =))
Kemaren aja saking ragu gue bisa keterima ITB kan sampe daftar PMDK Udayana dan beli tiket ke Bali segala... Persiapan apa gue masuk Lim Kok Wing aja gituh, ato UI inter dsb. Tante dan Om gue janji ngasi gue jam tangan (Anjrit men, gue dapet jam tangan Bvlgari!). Bokap bilang mobil. Dan gue rasa-rasanya yakin mereka juga ga yakin gue bisa keterima. Kecuali bokap ding. Sekarang gue ngerti perasaan adek gue yang waktu mo masuk SMA kemaren pada ga percaya dia bisa masuk SMA 1. Nyokap gue udah siap mo masukin dia ke Regina Pacis aja, soalnya ngeliat kedulnya dia belajar, nyokap gue ga yakin nilai UN ade gue bisa bagus...
Ajaibnya dia dapet nilainya tinggi, belon lagi sekarang jago fisika pula =)) Yah, waktu itu juga hanya bokap gue yang yakin ade gue bisa dapet SMA yang dimau. Dan gue amat percaya perkataan Pak Bas yang bilang semua itu tergantung sama doa orang tua. ALHAMDULILLAH! :D Gue sungkem sama bokap gue deh. Kayaknya kepercayaan dia ama gue yang bikin gue berhasil... Walaupun mereka diem-diem aja liat gue masih sempet-sempetnya ngenet menjelang tes, tapi itu karena gue stress men! Sekarang juga sih... Gue stress ama UN.
Anyway.. Emang gue ga sepinter orang-orang lain dan ga seserius itu mengejar sesuatu, emang hidup gue itu digampangin banget, diberkahi banyak hal baik materi, batiniah dll. Hidup gue penuh cinta tralala dan semua keinginan gue bisa tercapai mulus, orang tua gue kecukupan... Emang gue ga punya kehidupan susah yang menuntut semangat juang. Tapi bener deh, gue juga serius banget pas memang waktunya gue maju perang. Gue mati-matian ngerjain soal-soal USM (walopun gue sempet keteteran pas bagian IPA karena ketiduran dan mimpi Chuck Bass a.k.a. Reno) tapi gue serius men. Dengan segenap kemampuan gue, sampe gue banjir keringet yang bagian psikotes ngitung tuh yah. Biasanya kan skor gue paling 600an, itu tumben gue bisa nambah! Pas tes gambar juga, gue juga ragu gue bisa keterima Arsi jadi setidaknya gue pengen keterima SR jadi gue gambar sekuat tenaga dan memeras otak gue sampe jus kreatif itu ngocor kali dari telinga gue...
Dan sampe untuk rekoveri gue bergantung pada RPGan di IH ama anak2 sinting ituh ampe jam 3 pagi =)) Tapi itu bener-bener nyegerin gue dan bikin gue siap tempur!
Oh well... Maafin gue yang ga sekeras kalian berjuang, tapi untuk soal kesungguhan, kalian jangan kira gue kalah.
Gini deh, hari ini yang paling bikin gue siyok adalah saat gue mendapat sebuah IM dari seseorang yang isinya kayak begini:
doll_dodol: nanya dong
Gue: apa say?
doll_dodol: *emot muntah*
doll_dodol: itb itb itb...dapet gak?
Gue: ?
Dapet arsi XD
doll_dodol: *emot nangis*
Gue: knapa >D kok nangis sih
doll_dodol: kok lo dapet sih
Gue: JAH *ngakak gegulingan*
KOK LO KEK GA SENENG SIH
doll_dodol: yah kalo ada elo disana, gw gak semangat ngejar itb nih
Gue: MAKSUD LO???
gue dah kerja keras nih men *emot ngakak*
doll_dodol: *pura pura percaya*
Gue: apaan sih
gara2 gue banyak maen ye?
doll_dodol: begitulah kira kira
Dan dari perbincangan singkat itu, gue mengais-ais ingatan dan menyadari kalau emang banyak orang yang sepertinya geger banget gue keterima :| A-apakah gue semeragukan itu ya penampilannya? Emang sih gue gak kayak anak laen yang pada belajar ampe serius tiap hari sedangkan gue ngenet mulu. Tapi pas USM kemaren gue all out, men! Heran gue juga, gak pernah gue seniat itu mengerjakan sesuatu (selaen mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan kesukaan gue) apalagi SIMAK UI untuk jurusan Arsi aja gue gak keterima. Gue nangis loh pas tau keterima ITB, nyokap gue juga, kita lompat-lompat kayak orang sarap. Paling bokap gue aja yang cuma nyengir puas, soalnya dia satu-satunya yang yakin gue akan keterima di ITB =))
Kemaren aja saking ragu gue bisa keterima ITB kan sampe daftar PMDK Udayana dan beli tiket ke Bali segala... Persiapan apa gue masuk Lim Kok Wing aja gituh, ato UI inter dsb. Tante dan Om gue janji ngasi gue jam tangan (Anjrit men, gue dapet jam tangan Bvlgari!). Bokap bilang mobil. Dan gue rasa-rasanya yakin mereka juga ga yakin gue bisa keterima. Kecuali bokap ding. Sekarang gue ngerti perasaan adek gue yang waktu mo masuk SMA kemaren pada ga percaya dia bisa masuk SMA 1. Nyokap gue udah siap mo masukin dia ke Regina Pacis aja, soalnya ngeliat kedulnya dia belajar, nyokap gue ga yakin nilai UN ade gue bisa bagus...
Ajaibnya dia dapet nilainya tinggi, belon lagi sekarang jago fisika pula =)) Yah, waktu itu juga hanya bokap gue yang yakin ade gue bisa dapet SMA yang dimau. Dan gue amat percaya perkataan Pak Bas yang bilang semua itu tergantung sama doa orang tua. ALHAMDULILLAH! :D Gue sungkem sama bokap gue deh. Kayaknya kepercayaan dia ama gue yang bikin gue berhasil... Walaupun mereka diem-diem aja liat gue masih sempet-sempetnya ngenet menjelang tes, tapi itu karena gue stress men! Sekarang juga sih... Gue stress ama UN.
Anyway.. Emang gue ga sepinter orang-orang lain dan ga seserius itu mengejar sesuatu, emang hidup gue itu digampangin banget, diberkahi banyak hal baik materi, batiniah dll. Hidup gue penuh cinta tralala dan semua keinginan gue bisa tercapai mulus, orang tua gue kecukupan... Emang gue ga punya kehidupan susah yang menuntut semangat juang. Tapi bener deh, gue juga serius banget pas memang waktunya gue maju perang. Gue mati-matian ngerjain soal-soal USM (walopun gue sempet keteteran pas bagian IPA karena ketiduran dan mimpi Chuck Bass a.k.a. Reno) tapi gue serius men. Dengan segenap kemampuan gue, sampe gue banjir keringet yang bagian psikotes ngitung tuh yah. Biasanya kan skor gue paling 600an, itu tumben gue bisa nambah! Pas tes gambar juga, gue juga ragu gue bisa keterima Arsi jadi setidaknya gue pengen keterima SR jadi gue gambar sekuat tenaga dan memeras otak gue sampe jus kreatif itu ngocor kali dari telinga gue...
Dan sampe untuk rekoveri gue bergantung pada RPGan di IH ama anak2 sinting ituh ampe jam 3 pagi =)) Tapi itu bener-bener nyegerin gue dan bikin gue siap tempur!
Oh well... Maafin gue yang ga sekeras kalian berjuang, tapi untuk soal kesungguhan, kalian jangan kira gue kalah.
Rabu, 15 April 2009
Intermezzo
Gue baru baru baca blog si Cubung saat liat foto sapa tuh, Luthfi? Kemaren nyokap gue sempet ngamuk (atau lebih tepatnya panik) saat gue janji akan bawa pacar baru; cowo kribo dekil n de kumel (mungkin gue perlu sasar anak2 fsrd?) ke rumah untuk dikenalin.
Dia ngancem mau jodohin gue. WAKAKAKA!
Se-serius... Gue akan bawa cowo kribo nanti, cari ah =))
Dia ngancem mau jodohin gue. WAKAKAKA!
Se-serius... Gue akan bawa cowo kribo nanti, cari ah =))
Pengakuan Dosa
Sudah lama sekali daku tidak bersua dengan blog ini! :3 Gue baru pulang dari perjalanan 4 hari di Bali kemarin dan sekarang ada banyak banget hal yang ingin gue tulis. Percaya deh, gue akan menahan diri untuk tidak mengomel mengenai supir gue yang bawelnya naujubila, bagaimana kuping gue budek gue jejelin earphone demi memblokir racauan si supir, kenapa makanan hotel itu gak enak, dan kenapa Bali tuh mahal en de panas. Tapi pantainya asoi sih, gue akui, tetep aja XD
Mau mulai dari mana? Lebih baik detail-detail perjalanan mah gak usah dibahas kali ya? Soalnya paling juga itu ngebosenin, bahkan bagi gue. Tapi kemaren tuh gue baru habis membaca satu buku yang bikin gue terpana (kenapa gue malah baca buku pas liburan, kata lo? Well, gini yah, kemaren tuh gak bisa disebut liburan juga secara tujuan awal adalah mengantar gue tes Udayana dan akhirnya end up jadi ortu gue hunting buat angkul-angkul dan ukiran batu bali. Menurut lo gue ngapain aja di dalem mobil selaen menggendutkan diri dan membaca buku?) dan buku itu adalah La Dame aux Camelias.
Gadis berbunga kamelia.
Karangan Dumas Jr. Anak *haram* dari Dumas Sr. yang bikin the Count of Monte Cristo. Yang novelnya begitu membuat gue terpana sampai gue pakai nama Morcerf untuk karakter gue di IH. Saking gue cintanya sama itu novel... Tapi gak mungkin gue pake nama Dantes kan? Jiplak amat gitu mah. Dan ini, anaknya, yang membuat cerita roman, yang seharusnya ecekeble termehek-mehek sebagaimana cerita roman biasanya, bikin gue menitikkan air mata. Gue pengen sih bilang "Najis." tapi emang sebegitunya buku ini membuat gue sedih. Sedih karena mungkin aja ada manusia yang seperti itu.
Di depan patung Ganesha dan Rahwana, gue inget, gue selesai baca surat-surat Marguerite Gautier untuk kekasihnya, Armand Duval. Dan emang Armand itu cengeng, tapi itu karena dia mencintai, dan ga bisa dipersalahkan untuk itu. Ada ya buku yang membuat gue sadar kalau semua cerita itu mungkin terjadi, bahwa khayalan semata itu gak mungkin menggerakan emosi sebegitunya, kalau semua ini dibumbui oleh kemungkinan bahwa di suatu tempat hal tersebut bisa terjadi. Kalau semua khayalan itu mungkin. Dan itu membuat gue sedih karena gue menulis sesuatu yang kemungkinan besar tidak akan terjadi. Buku yang membuat gue mengakui bahwa selama ini gue begitu sombong untuk meminimalisir kemampuan manusia untuk merasa lebih dalam, mungkin banyak yang nggak ngerti gue ngomongin apa, tapi bagi yang tahu, bagi yang ikut IH dan kenal karakter gue; gue merasa karakter gue kosong.
Sumpah, kosong.
Gue menulis berbayangkan Dorian Gray, Lord Henry dan Basil. Lalu Nicolas sebagai pembaca, cerminan diri gue yang juga terpesona sama narasi Lord Henry di pembukaan mengenai kecantikan, kemudaan, dan keabadian. Mengenai pembenaran bagi segala yang absurd dan dosa. Kalian pernah baca Dorian Gray? Baca yang bahasa Inggris dan lo akan ngerti kenapa Oscar Wilde dituntut karena menyesatkan generasi muda. Gue sendiri takut waktu itu, gue takut terhasut dan terhanyut sama semua narasi di dalamnya yang membuai. Itu. Dan topik mengenai dendam, seperti di buku Count of Monte Cristo, dibumbui pengampunan dan cinta.
Tapi gue gak pernah berpikir semurni cinta. Semurni Armand yang nangis meraung karena Marguerite mati sebelum pernah melihat Armand lagi. Gue nangis karena Armand yang balas dendam dengan nyakitin Marguerite yang udah hampir mati. Gue nangis karena wanita macam Marguerite mencari penebusan dosa dengan meninggalkan satu-satunya pria yang dia cintai demi kebahagiaan perawan suci, demi adik Armand. Demi Blanche.
Gue akan spoil itu satu buku kalo bisa.
Gini yah, kalian boleh bilang gue tipe-tipe romantis lembek bla-bla-bla dan gue gak akan nolak kok. Karena gue bahagia bisa begitu, bahagia bisa melihat semuanya lewat kaca warna merah muda--nggak juga sih, tapi hidup gue romantis, menurut gue sih. Dan di perjalanan ini juga gue melihat bahwa ada darah yang mengikat, bahwa sejarah itu berulang, bahwa garis sifat itu diturunkan. Betapa gue seneng ngedengerin orang tua gue mengenang bulan madu mereka di Bali. Waktu mereka masih miskin dan gak punya apa-apa, mereka nabung buat bisa ke Bali dan nikmatin semuanya. Ibu gue masih bisa ngasi tau di hotel apa mereka tinggal, hotel kecil yang udah ga ada sekarang. Dan semua kenangan kecil lainnya. Gak semua orang seberuntung mereka.
Bokap gue yatim piatu, nyokap gue yatim. Dua-duanya miskin sampe makan aja susah, tapi mereka beruntung karena bertemu. Ibu gue masih kelas 1 SMA dan bokap gue kelas 3 waktu mereka mulai pacaran. Pacar pertama mereka. Dan gak semua orang bisa seberuntung itu ketemu cinta yang tulus di tembakan pertama kan? Gue geli dengernya, sekaligus kagum. Sewaktu nyokap gue diusir dari rumahnya (dia numpang saudara btw, nenek gue jadi koki di Brunei), waktu dia luntang-lantung di jalan, bokap gue langsung ngasih uang beasiswa dia supaya nyokap gue bisa tinggal di asrama. Itu waktu mereka kuliah, dan mereka bisa sekolah sejauh itu semata-mata karena beasiswa penuh pemerintah. Dan untuk menutupi biaya sekolah bokap gue, bareng-bareng mereka kerja. Jualan ayam lah, ngerjain skripsi orang lah, nyokap gue gambar untuk dijual ke tukang sablon lah. Mereka miskin tapi mereka beruntung. Tujuh tahun mereka bareng sebelum nikah dan sampe sekarang.
Bokap gue ga romantis, tapi nyokap gue iya. Kalian tahu gak rasanya saat nyokap gue pernah bilang kalau dia gak bisa bayangin gimana kalau bokap gue meninggal duluan? Bahwa nyokap gue menahan diri untuk nggak pergi haji demi menjaga iman bokap gue (ceritanya panjang). Bahwa mereka tuh cinta sejati dan gue gak bisa bilang selain itu.
Lalu bandingin dengan kisah nenek gue yang udah hajjah sekarang di usia 64 tahun dan masih merokok dengan gagahnya. Kisah dia juga bikin gue tersentuh. Anak badung, emang, wayward child yang diasingin sama saudara-saudaranya sendiri. Nenek gue ketemu kakek gue juga di kelas 1 SMA. Ada satu pertengkaran hebat yang membuat nenek gue kabur dari rumah satu hari, dan dengan begonya dia lari ke rumah kakek gue. Besoknya, kakek gue nganterin nenek gue balik, setelah menasehati dia semaleman, dan langsung ngelamar nenek gue agar gak terjadi fitnah.
Itu. Demi menjaga nama baik nenek gue.
Umur 20, nenek gue udah punya 3 anak. Umur 21, kakek gue mati kecelakaan. Bisa kalian bayangkan keadaan nenek gue? Setengah gila. Itu cinta pertama nenek gue, mungkin cinta sejatinya walaupun nanti di masa depannya dia menikah lagi demi anak-anak. Yang jelas saat itu nenek gue mencintai seorang pria sampai sebegitunya. Penghiburan yang dia dapat waktu itu adalah sekotak rokok yang tertinggal di salah satu saku kemeja mendiang kakek gue. Nenek gue nemuin itu saat sedih-sedihnya, saat rindu sama mendiang suaminya, dan ada sekotak rokok. Yang baunya sama seperti kakek gue. Isapan pertama bikin dia nangis lebih keras, kata nenek gue, isapan kedua membuat dia tenang, di isapan ketiga dia seakan melihat kakek gue ada lagi di hadapannya. Dan isapan-isapan seterusnya membuat dia terus hidup, terus kuat untuk anak-anaknya, untuk hidup, simpelnya aja. Sampe sekarang rokoknya juga masih sama itu-itu aja. Yang bau cengkeh. Dan nenek gue seger buger loh, dia sama sekali gak kayak perokok berat kecuali badannya aja yang kurus. Udah haji juga, rokok tetep jalan...
Itu dua generasi di atas gue. Nah, gue? Cinta itu basi. Perintang jalan hidup dan perusak masa depan. Gue mimpi muluk pingin beruntung menemukan cinta seperti nenek dan ibu gue. Dengan begonya, dengan naifnya, gue percaya cinta itu untuk semua orang. Dicintai itu hanya kemewahan bagi mereka yang cantik sebagaimana ibu dan nenek gue adalah yang tercantik di sekitarnya. Cantik, cerdas, tapi gue? Sayang, sekarang gue sadar bahwa gue itu diciptakan untuk mencintai dan bukan untuk dicintai dan gue menerima fakta itu dengan lega sekarang setelah gue menjalani segalanya.
Bahwa gue akan menjadi Armand bagi kekasih gue nanti dan bukan Marguerite. Ah, itu peran yang lebih mudah bagi sifat alamiah gue karena satu kecapan di ambang kematian sudah cukup. Saat darah yang sama seperti dari pembuluh nenek dan ibu gue dikuras habis, saat pernyataan cinta itu hanya omong kosong dan gue melihat semua kehidupan gue melintas di mata. Saat semuanya, Emmet dan Adelle tercinta datang menjadi penghiburan dan penyelamatan. Pelajaran yang gak mungkin dilupakan bahwa bahkan gue sekali pun nyaris mati karena cinta. Karena dicintai dan membiarkan diri dicintai dengan cara seperti itu. Belajar untuk mencintai sebagaimana Armand mencintai adalah apa yang gue pelajari. Nggak semua orang diciptakan untuk menjadi Marguerite. Gue akan lebih bahagia kalau bisa mencintai setulus M. Duval pada Mme. Gautier.
Iya gue tahu, mimpi itu konyol dan seharusnya sekarang gue mulai mikirin ** (kata tabu ituh) daripada mikirin yang lain. Tapi gue nangis, darling. Gue bisa-bisanya nangis gara-gara buku itu dan semua dosa kembali merundung. Gue tahu gue akan pergi ke neraka dulu sebelum ke surga, dosa gue gak akan bisa kalian bayangkan, dan entah mungkin gue mati bertahun lalu saat dia mati juga. 4 Juni 2007, gue pernah mati. Gue pernah menghilang untuk sesaat dan saat itu gue pernah berdoa untuk sebuah hukuman mati, atau apapun untuk menebus segala dosa gue. Tapi gue hidup, Tuhan membiarkan gue hidup sampai sekarang dan terus mengingat masa lalu yang sesusah apapun gue kubur akan selalu gue ingat. Dan memberi kekuatan untuk terus mencintai seseorang, sesuatu, segalanya.
Aih, ini lebih menyenangkan daripada menerima peran pasif yang dicintai sementara kaki tangan gue diborgol dan gue dimasukkan ke dalam sangkar. Gue menciptakan Nicolas untuk mencintai, Kristobal untuk memuja, Maximillian untuk memimpikkan kebahagiaan, dan Francis untuk mengatakan segalanya. Gue mengabadikan segalanya dalam bentuk Dorian Gray, dalam bentuk ketampanan yang abadi. Tapi gue menghilangkan satu hal, satu hal yang Basil selalu katakan, sesuatu yang gak bisa diungkapkan dengan kata-kata, sesuatu mengenai jiwa. Kenapa sedikit banyak gue terikat sama karakter itu? Gue bermimpi terlalu banyak, dan selama gue masih bermimpi, selama itu pula kemungkinan berkembang, cerita mereka mengalir dan selamanya Morcerf hidup di kepala gue karena eksistensi mereka adalah mimpi dan bunga di taman ilusi ini.
Satu hari mereka juga akan mencintai seperti Armand. Mungkin bukan untuk Marguerite saja, untuk semua yang mempesona bagi gue. Selalu ada, Muses di setiap belokkan yang gue lalui. Sayang, gue mencintai segala keindahan. Fisik mempesona gue, tapi yang ada di dalam lebih lagi. Temen gue pernah nanya, gimana kalau satu saat kita menyukai seorang pria tampan sampai benar-benar dalem sementara pria itu menganggap kita jelek. Anehnya, figur khayalan itu langsung berubah menjadi objek di bayangan gue. Seperti lukisan yang indah aja. Semudah itu kita mencinta dan membenci. Kenapa gue terikat pada dunia maya? Karena di sini banyak karakter-karakter indah yang dibentuk (walau mungkin oleh jiwa yang tidak begitu indah ataupun segala kekurangan fisik lainnya) yang membuat gue jatuh cinta pada mereka. Dan sedikit banyak para pemain di belakang layar juga memikat gue.
Di sini kata-kata menjadi deskripsi bibir ranum dan bulu mata lentik, kisah hidup mereka menjadi tubuh semampai dan jemari lembut, masa lalu dan masa depan adalah nyanyian dan rayu mereka. Gimana bisa gue gak jatuh cinta? Ada banyak pikiran liar yang sekarang malah menguap hilang padahal begitu mengganggu gue selama di Bali. Ada banyak lagi yang pengen gue tulis. Tapi ini saja, ini sudah cukup. Bahwa ada saatnya makhluk dengan segala keterbatasan menyadari apa yang bisa dia lakukan. Ada banyak yang ingin gue kutip, tetapi mungkin di lain waktu. Sekali lagi gue jatuh cinta oleh orang bernama Dumas.
Dan bagi orang-orang yang pernah gue panggil sebagai Muse gue, tolong percaya, kalau gue mencintai kalian dengan tulus. Bukan sebagai objek, lebih seperti memuja, mungkin seperti (atau menyerupai) Armand yang mencintai Marguerite.
Mau mulai dari mana? Lebih baik detail-detail perjalanan mah gak usah dibahas kali ya? Soalnya paling juga itu ngebosenin, bahkan bagi gue. Tapi kemaren tuh gue baru habis membaca satu buku yang bikin gue terpana (kenapa gue malah baca buku pas liburan, kata lo? Well, gini yah, kemaren tuh gak bisa disebut liburan juga secara tujuan awal adalah mengantar gue tes Udayana dan akhirnya end up jadi ortu gue hunting buat angkul-angkul dan ukiran batu bali. Menurut lo gue ngapain aja di dalem mobil selaen menggendutkan diri dan membaca buku?) dan buku itu adalah La Dame aux Camelias.
Gadis berbunga kamelia.
Karangan Dumas Jr. Anak *haram* dari Dumas Sr. yang bikin the Count of Monte Cristo. Yang novelnya begitu membuat gue terpana sampai gue pakai nama Morcerf untuk karakter gue di IH. Saking gue cintanya sama itu novel... Tapi gak mungkin gue pake nama Dantes kan? Jiplak amat gitu mah. Dan ini, anaknya, yang membuat cerita roman, yang seharusnya ecekeble termehek-mehek sebagaimana cerita roman biasanya, bikin gue menitikkan air mata. Gue pengen sih bilang "Najis." tapi emang sebegitunya buku ini membuat gue sedih. Sedih karena mungkin aja ada manusia yang seperti itu.
Di depan patung Ganesha dan Rahwana, gue inget, gue selesai baca surat-surat Marguerite Gautier untuk kekasihnya, Armand Duval. Dan emang Armand itu cengeng, tapi itu karena dia mencintai, dan ga bisa dipersalahkan untuk itu. Ada ya buku yang membuat gue sadar kalau semua cerita itu mungkin terjadi, bahwa khayalan semata itu gak mungkin menggerakan emosi sebegitunya, kalau semua ini dibumbui oleh kemungkinan bahwa di suatu tempat hal tersebut bisa terjadi. Kalau semua khayalan itu mungkin. Dan itu membuat gue sedih karena gue menulis sesuatu yang kemungkinan besar tidak akan terjadi. Buku yang membuat gue mengakui bahwa selama ini gue begitu sombong untuk meminimalisir kemampuan manusia untuk merasa lebih dalam, mungkin banyak yang nggak ngerti gue ngomongin apa, tapi bagi yang tahu, bagi yang ikut IH dan kenal karakter gue; gue merasa karakter gue kosong.
Sumpah, kosong.
Gue menulis berbayangkan Dorian Gray, Lord Henry dan Basil. Lalu Nicolas sebagai pembaca, cerminan diri gue yang juga terpesona sama narasi Lord Henry di pembukaan mengenai kecantikan, kemudaan, dan keabadian. Mengenai pembenaran bagi segala yang absurd dan dosa. Kalian pernah baca Dorian Gray? Baca yang bahasa Inggris dan lo akan ngerti kenapa Oscar Wilde dituntut karena menyesatkan generasi muda. Gue sendiri takut waktu itu, gue takut terhasut dan terhanyut sama semua narasi di dalamnya yang membuai. Itu. Dan topik mengenai dendam, seperti di buku Count of Monte Cristo, dibumbui pengampunan dan cinta.
Tapi gue gak pernah berpikir semurni cinta. Semurni Armand yang nangis meraung karena Marguerite mati sebelum pernah melihat Armand lagi. Gue nangis karena Armand yang balas dendam dengan nyakitin Marguerite yang udah hampir mati. Gue nangis karena wanita macam Marguerite mencari penebusan dosa dengan meninggalkan satu-satunya pria yang dia cintai demi kebahagiaan perawan suci, demi adik Armand. Demi Blanche.
Gue akan spoil itu satu buku kalo bisa.
Gini yah, kalian boleh bilang gue tipe-tipe romantis lembek bla-bla-bla dan gue gak akan nolak kok. Karena gue bahagia bisa begitu, bahagia bisa melihat semuanya lewat kaca warna merah muda--nggak juga sih, tapi hidup gue romantis, menurut gue sih. Dan di perjalanan ini juga gue melihat bahwa ada darah yang mengikat, bahwa sejarah itu berulang, bahwa garis sifat itu diturunkan. Betapa gue seneng ngedengerin orang tua gue mengenang bulan madu mereka di Bali. Waktu mereka masih miskin dan gak punya apa-apa, mereka nabung buat bisa ke Bali dan nikmatin semuanya. Ibu gue masih bisa ngasi tau di hotel apa mereka tinggal, hotel kecil yang udah ga ada sekarang. Dan semua kenangan kecil lainnya. Gak semua orang seberuntung mereka.
Bokap gue yatim piatu, nyokap gue yatim. Dua-duanya miskin sampe makan aja susah, tapi mereka beruntung karena bertemu. Ibu gue masih kelas 1 SMA dan bokap gue kelas 3 waktu mereka mulai pacaran. Pacar pertama mereka. Dan gak semua orang bisa seberuntung itu ketemu cinta yang tulus di tembakan pertama kan? Gue geli dengernya, sekaligus kagum. Sewaktu nyokap gue diusir dari rumahnya (dia numpang saudara btw, nenek gue jadi koki di Brunei), waktu dia luntang-lantung di jalan, bokap gue langsung ngasih uang beasiswa dia supaya nyokap gue bisa tinggal di asrama. Itu waktu mereka kuliah, dan mereka bisa sekolah sejauh itu semata-mata karena beasiswa penuh pemerintah. Dan untuk menutupi biaya sekolah bokap gue, bareng-bareng mereka kerja. Jualan ayam lah, ngerjain skripsi orang lah, nyokap gue gambar untuk dijual ke tukang sablon lah. Mereka miskin tapi mereka beruntung. Tujuh tahun mereka bareng sebelum nikah dan sampe sekarang.
Bokap gue ga romantis, tapi nyokap gue iya. Kalian tahu gak rasanya saat nyokap gue pernah bilang kalau dia gak bisa bayangin gimana kalau bokap gue meninggal duluan? Bahwa nyokap gue menahan diri untuk nggak pergi haji demi menjaga iman bokap gue (ceritanya panjang). Bahwa mereka tuh cinta sejati dan gue gak bisa bilang selain itu.
Lalu bandingin dengan kisah nenek gue yang udah hajjah sekarang di usia 64 tahun dan masih merokok dengan gagahnya. Kisah dia juga bikin gue tersentuh. Anak badung, emang, wayward child yang diasingin sama saudara-saudaranya sendiri. Nenek gue ketemu kakek gue juga di kelas 1 SMA. Ada satu pertengkaran hebat yang membuat nenek gue kabur dari rumah satu hari, dan dengan begonya dia lari ke rumah kakek gue. Besoknya, kakek gue nganterin nenek gue balik, setelah menasehati dia semaleman, dan langsung ngelamar nenek gue agar gak terjadi fitnah.
Itu. Demi menjaga nama baik nenek gue.
Umur 20, nenek gue udah punya 3 anak. Umur 21, kakek gue mati kecelakaan. Bisa kalian bayangkan keadaan nenek gue? Setengah gila. Itu cinta pertama nenek gue, mungkin cinta sejatinya walaupun nanti di masa depannya dia menikah lagi demi anak-anak. Yang jelas saat itu nenek gue mencintai seorang pria sampai sebegitunya. Penghiburan yang dia dapat waktu itu adalah sekotak rokok yang tertinggal di salah satu saku kemeja mendiang kakek gue. Nenek gue nemuin itu saat sedih-sedihnya, saat rindu sama mendiang suaminya, dan ada sekotak rokok. Yang baunya sama seperti kakek gue. Isapan pertama bikin dia nangis lebih keras, kata nenek gue, isapan kedua membuat dia tenang, di isapan ketiga dia seakan melihat kakek gue ada lagi di hadapannya. Dan isapan-isapan seterusnya membuat dia terus hidup, terus kuat untuk anak-anaknya, untuk hidup, simpelnya aja. Sampe sekarang rokoknya juga masih sama itu-itu aja. Yang bau cengkeh. Dan nenek gue seger buger loh, dia sama sekali gak kayak perokok berat kecuali badannya aja yang kurus. Udah haji juga, rokok tetep jalan...
Itu dua generasi di atas gue. Nah, gue? Cinta itu basi. Perintang jalan hidup dan perusak masa depan. Gue mimpi muluk pingin beruntung menemukan cinta seperti nenek dan ibu gue. Dengan begonya, dengan naifnya, gue percaya cinta itu untuk semua orang. Dicintai itu hanya kemewahan bagi mereka yang cantik sebagaimana ibu dan nenek gue adalah yang tercantik di sekitarnya. Cantik, cerdas, tapi gue? Sayang, sekarang gue sadar bahwa gue itu diciptakan untuk mencintai dan bukan untuk dicintai dan gue menerima fakta itu dengan lega sekarang setelah gue menjalani segalanya.
Bahwa gue akan menjadi Armand bagi kekasih gue nanti dan bukan Marguerite. Ah, itu peran yang lebih mudah bagi sifat alamiah gue karena satu kecapan di ambang kematian sudah cukup. Saat darah yang sama seperti dari pembuluh nenek dan ibu gue dikuras habis, saat pernyataan cinta itu hanya omong kosong dan gue melihat semua kehidupan gue melintas di mata. Saat semuanya, Emmet dan Adelle tercinta datang menjadi penghiburan dan penyelamatan. Pelajaran yang gak mungkin dilupakan bahwa bahkan gue sekali pun nyaris mati karena cinta. Karena dicintai dan membiarkan diri dicintai dengan cara seperti itu. Belajar untuk mencintai sebagaimana Armand mencintai adalah apa yang gue pelajari. Nggak semua orang diciptakan untuk menjadi Marguerite. Gue akan lebih bahagia kalau bisa mencintai setulus M. Duval pada Mme. Gautier.
Iya gue tahu, mimpi itu konyol dan seharusnya sekarang gue mulai mikirin ** (kata tabu ituh) daripada mikirin yang lain. Tapi gue nangis, darling. Gue bisa-bisanya nangis gara-gara buku itu dan semua dosa kembali merundung. Gue tahu gue akan pergi ke neraka dulu sebelum ke surga, dosa gue gak akan bisa kalian bayangkan, dan entah mungkin gue mati bertahun lalu saat dia mati juga. 4 Juni 2007, gue pernah mati. Gue pernah menghilang untuk sesaat dan saat itu gue pernah berdoa untuk sebuah hukuman mati, atau apapun untuk menebus segala dosa gue. Tapi gue hidup, Tuhan membiarkan gue hidup sampai sekarang dan terus mengingat masa lalu yang sesusah apapun gue kubur akan selalu gue ingat. Dan memberi kekuatan untuk terus mencintai seseorang, sesuatu, segalanya.
Aih, ini lebih menyenangkan daripada menerima peran pasif yang dicintai sementara kaki tangan gue diborgol dan gue dimasukkan ke dalam sangkar. Gue menciptakan Nicolas untuk mencintai, Kristobal untuk memuja, Maximillian untuk memimpikkan kebahagiaan, dan Francis untuk mengatakan segalanya. Gue mengabadikan segalanya dalam bentuk Dorian Gray, dalam bentuk ketampanan yang abadi. Tapi gue menghilangkan satu hal, satu hal yang Basil selalu katakan, sesuatu yang gak bisa diungkapkan dengan kata-kata, sesuatu mengenai jiwa. Kenapa sedikit banyak gue terikat sama karakter itu? Gue bermimpi terlalu banyak, dan selama gue masih bermimpi, selama itu pula kemungkinan berkembang, cerita mereka mengalir dan selamanya Morcerf hidup di kepala gue karena eksistensi mereka adalah mimpi dan bunga di taman ilusi ini.
Satu hari mereka juga akan mencintai seperti Armand. Mungkin bukan untuk Marguerite saja, untuk semua yang mempesona bagi gue. Selalu ada, Muses di setiap belokkan yang gue lalui. Sayang, gue mencintai segala keindahan. Fisik mempesona gue, tapi yang ada di dalam lebih lagi. Temen gue pernah nanya, gimana kalau satu saat kita menyukai seorang pria tampan sampai benar-benar dalem sementara pria itu menganggap kita jelek. Anehnya, figur khayalan itu langsung berubah menjadi objek di bayangan gue. Seperti lukisan yang indah aja. Semudah itu kita mencinta dan membenci. Kenapa gue terikat pada dunia maya? Karena di sini banyak karakter-karakter indah yang dibentuk (walau mungkin oleh jiwa yang tidak begitu indah ataupun segala kekurangan fisik lainnya) yang membuat gue jatuh cinta pada mereka. Dan sedikit banyak para pemain di belakang layar juga memikat gue.
Di sini kata-kata menjadi deskripsi bibir ranum dan bulu mata lentik, kisah hidup mereka menjadi tubuh semampai dan jemari lembut, masa lalu dan masa depan adalah nyanyian dan rayu mereka. Gimana bisa gue gak jatuh cinta? Ada banyak pikiran liar yang sekarang malah menguap hilang padahal begitu mengganggu gue selama di Bali. Ada banyak lagi yang pengen gue tulis. Tapi ini saja, ini sudah cukup. Bahwa ada saatnya makhluk dengan segala keterbatasan menyadari apa yang bisa dia lakukan. Ada banyak yang ingin gue kutip, tetapi mungkin di lain waktu. Sekali lagi gue jatuh cinta oleh orang bernama Dumas.
Dan bagi orang-orang yang pernah gue panggil sebagai Muse gue, tolong percaya, kalau gue mencintai kalian dengan tulus. Bukan sebagai objek, lebih seperti memuja, mungkin seperti (atau menyerupai) Armand yang mencintai Marguerite.
Langganan:
Postingan (Atom)