Selasa, 03 Juli 2012

little girl of mine




Gadis kecil, kita berdua lelah dan tersesat. Aku ingin mengerti dirimu tapi kita berdua berbicara dalam bahasa yang berbeda. Kukatakan suatu penghiburan, kau menangis sebelum aku selesai berbicara. Kau menyuarakan kepedihanmu, aku terluka sebelum kau bisa menjelaskannya. Kadang kala aku merasa putus asa, gadis kecilku, lidahku yang lihai menjadi kelu, hatiku yang lega menjadi ciut. Kulihat kau juga letih, gadis manisku, keras cangkangmu merapuh menjadi seribu serpihan, bangkai hatimu berkelojotan seakan hidup.

Tapi memang benar kata orang tua, kalau masih ada bahasa yang sifatnya universal. Setiap kusentuh jemarimu, gadis kecil, kurasakan balasan yang hangat. Setiap kau peluk badanku, kurasakan semua letih terangkat.

Kita buta, bisu, dan tuli. Peluk aku, sentuh aku, biar kurasakan dirimu.

Tidakkah kau malas bertanya-tanya? Aku letih, aku ingin berbaring saja di pangkuanmu. Tanpa khawatir, tanpa prasangka. Apa kau mencintaiku seperti kau mencintaiku tempo hari? Apa bobot cintamu sama dengan cintaku? Timbanganku bekerja tanpa pandang bulu. Otakku terasa seperti pedagang, makelar ikan yang tergesa ingin menjual barangnya sebelum membusuk. Busuk. Busuk. Ada bau busuk dari kita berdua.

Kebalkah hidung kita? Atau karena kita buta, bisu, dan tuli, sedangkan tangan terlampau jauh untuk berpautan, maka kita percaya saja pada apa yang kita baui.

Aku lupa kalau kita ini hanya sepasang kekasih.

Gadis kecilku sayang, ampunilah aku. Ternyata aku manusia, bukan malaikat surga, tidak bisa berlaku mulia. Kupilih untuk tinggal di bumi, kakiku menjejak, dan sifatku saling berbalikkan satu sama lain. Kulihat kamu pada suatu hari tengah memanjat keluar dari lubang bertepi curam. Atau sebaliknya? Entah salah satu dari kita ini malaikat yang terlempar dari surga atau justru seorang setan yang bertaubat.

Di mataku kita ini sempurna, ada baik dan buruknya.

Ada lusinan pemuja, mengantri di lapakmu dan lapakku. Ada lusinan manusia yang dapat memujamu lebih baik daripada aku. Ada lusinan manusia yang dapat mengagungkanku lebih tinggi daripada kamu. Kenapa juga kita berdua masih bersama? Jujur kukatakan aku juga tidak bisa menerka. Katamu ini takdir, ya terima saja apa adanya.

Tadi kubilang tidakkah kita berdua lelah bertanya? Lelah berpikir. Biarkan aku mencintaimu dengan sederhana.

Kamu gadis kecilku, selamanya. Aku milikmu, begitu pula.


Minggu, 01 Juli 2012

Kantuk

Ini kantuk, datangnya membawa mimpi.

Wanginya samar kuingat, seperti musk dan bumi. Punggungnya seperti labirin dan ia mendengkur jika kugaruk. Aku menyingkap kain tipis yang menutupinya dan kuciumi pundaknya.

Nampaknya aku ini makhluk pagi dan ia makhluk malam. Baru kusadari sekarang dia ini rembulan dan aku mataharinya. Bertahun-tahun aku berdelusi bahwa aku ksatria hitam, yang hidupnya baru saat matahari tenggelam, dan, dan, dan sebagainya. Sampai dia datang dan baru kurasa, oh aku ini terang dan dia ini kelam.

Jika bisa kulukis kebahagiaan itu seperti apa, besar kanvasnya hanya petak tiga kali tiga dan ranjangnya sempit dimuat-muatkan karena cinta. Wanginya seperti kesturi dan malam, matanya yang tajam terpejam, dan sesaat dia terlihat serapuh binatang kecil.

Kantuk, sayang, datang seperti selimut tebal, bulunya mencapai dagu, hangatnya membuat gagu. Tidur, sayang, tidur. Katanya pagi belum tiba. Waktunya mengejang baru separuh malam, belum separuh jalan. Aku mimpi pernah bahagia.

Kantuk, sayang, kantuk. Aku cinta kamu. Selamat malam.

Another Chapter

Entah apa ini akan dibaca oleh orang, aku yakin masih ada satu orang yang akan membukanya dan aku menulis ini untuk dia.

Dia yang pernah bilang "if you can forgive your past, you can simply be mine."

Aku tidak pernah sepenuhnya memaafkan masa lalu, hanya di mulut semata, dan mungkin itu kenapa kami mengalami perpisahan ini sekarang. Banyak orang bilang aku ini orang yang polos padahal aku tidak merasa begitu. Baru akhir-akhir ini aku menerima fakta bahwa, ya, aku ini polos dan aku begitu karena aku memilih menjadi polos.

Kemarin itu aku memutuskan pulang untuk menenangkan pikiran. Tapi memang dasar cengeng, aku menangis di jalan dan alhasil malah tersesat ke belantara Jakarta. Tanpa uang, tanpa bensin cukup, tanpa tahu arah. Selalu pikiran pertamaku adalah menelpon dia tapi baru kuingat aku tidak bisa lagi bergantung padanya.

Jadi aku menelpon rumah.

Ayahku langsung bilang dia akan menjemputku, tidak perlu takut, tidak perlu panik, 'Ayah akan datang'. Saat itu aku menyadari betapa aku masih bocah, betapa aku begitu bergantung pada orang tuaku, dan nyaris merasa apa perjalananku ke Semarang-Solo kemarin hanya mimpi. Aku menunggu di sebuah rumah makan pinggir jalan, berpikir apa yang merasukiku kemarin berangkat ke Semarang tanpa bekal memadai, hanya karena kata hatiku mengatakan aku harus pergi dan memperjuangkan cinta. Seandainya dia tidak menjemputku, aku pasti akan kena bahaya.

Aku masih bocah. Walaupun tubuhku wanita, aku masih bocah.

Saat ayahku datang aku langsung menangis di pelukannya. Dia hanya tertawa dan bilang ayo kita pulang. Perjalanan singkat yang harusnya hanya 3 jam berakhir menjadi 7 jam, di jalan aku berbicara dengan ayahku lebih banyak daripada yang biasa kuhabiskan saat aku tinggal 3-4 hari di rumah.

Rumahku mungkin besar sekarang, tapi 'home' yang selalu kubicarakan bukanlah bangunan gedongan yang kini orang bilang rumahku. 'Home' bagiku adalah rumah kecil yang paling juga sepetak. Yang dahulunya aku berkamar berdua dengan adikku, di kamar mungil yang lebih kecil dari kamar-kamar di rumah Solo yang kuinapi kemarin. Home. Hari itu aku pulang ke 'home' hanya karena ayah ibuku ada di sana. Minggu lalu aku juga merasakan pulang hanya karena 'dia' berada bersamaku.

Saat aku pulang, kami bertiga tidur di satu kamar. Rumah ini kepalang besar, bukan untuk orang kampungan seperti kami yang terbiasa tidur berhimpit-himpitan. Di antara ayah dan ibuku, aku menerima pesan menyakitkan dan aku harus menyembunyikan wajahku di bawah selimut agar mereka tidak melihatku menangis.

Lalu ibuku memelukku, setengah tertidur, dan ayahku berkata.

"Mbak, kamu itu mirip sekali sama ibu. Kalau kamu punya pendamping nanti harus yang seperti ayah. Yang bisa melindungi."

Aku tahu 'dia' tidak mungkin masuk ke dalam perhitungan orang tuaku, tapi langsung aku memikirkannya. Saat aku, si bocah bego, pergi ke Semarang tanpa pikir panjang, aku juga menunggu di stasiun dengan kenaifan murni yang percaya kalau dia akan datang dan aku tidak akan terlantar. Dan saat dia datang, aku tahu kalau aku akan dilindunginya.

Sulit untuk tidak membandingkan keadaanku dengan keadaan orang tuaku tahun lalu. Katanya ayahku yakin benar ibuku berselingkuh. Karena ibuku memiliki banyak teman, baik wanita mau pun pria, karena ibuku suka menggunakan BB-nya di kamar padahal ayahku berbaring di sisinya. Banyak kata-kata kasar yang terlempar, banyak benda dihancurkan, dan aku serta adikku menjadi saksi bagaimana wanita kuat seperti ibuku menjadi tak berdaya. Bersumpah sampai akhir kalau dia tidak bersalah.

Lucu. Ironis, malah, kalau aku mengalami hal yang sama persis.

Enam bulan lalu, aku menangis di depannya, bingung apa aku harus pulang untuk ibuku atau tidak. Saat itu pertengkaran orang tuaku sedang memuncak. Dia menenangkanku. Saat ini posisi kami berbeda.

Dulu ayahku pergi meninggalkan rumah, ibuku menyusulnya. Kubilang pada mereka dengan enteng, 'bercerai sajalah', tapi ibuku tidak mau, ayahku padahal sudah keras hati. Mereka yakin ini cinta sejati, aku mencibir dengan sinis. Ironis sekarang aku baru mengerti.

Ibuku pernah memohon agar aku pulang. Bertanya apakah ayah dan ibu yang membuatku enggan pulang, katanya 'maklumlah, memang begini adanya'.

Kemarin aku pulang dan kulihat mereka sudah akur kembali. Memang tidak mudah, karena ayahku amat keras dan punya pemikiran sendiri yang tidak bisa dipahami orang lain. Tapi dulu pun saat ibuku dibuang ke jalanan, ayahku yang datang menjemputnya. Karena itu ibuku yakin bahwa ayahku lah pendamping sejatinya.

Aku bersumpah pada orang itu kalau aku setia. Masa laluku mungkin kelam, masa lalu dia lebih kelam lagi. Kami memulai semuanya bukan sebagai orang lugu yang tidak pernah mengalami pahit, sesama sinis hanya yang satu menggunakan kepolosan sebagai senjata yang satu lagi mengeraskan hati.

Aku sendiri bingung kenapa aku tidak berhenti-berhenti juga mencintainya. Mungkin aku melihat refleksi orang tuaku dalam hubungan kami? Ibuku selalu bilang dia pintar tapi mungkin tidak sepintar ayahku, yang diyakininya adalah ia bisa mencintai ayahku saat yang lain berpaling sekali pun. Memang benar adanya. Ibuku tidak lantas pergi saat ayahku bangkrut, ibuku menawarkan diri menjadi yang dipenjara kalau-kalau hutang ayahku tak terbayar, kami dapat hidup berkecukupan karena ibuku ada di samping ayahku dan ayahku ada untuk membimbing ibuku.

Aku melihat bagaimana ayahku menyakiti dirinya sendiri, melihat bagaimana ibuku mendampinginya melewati masa-masa sulit itu. Agustus nanti kami akan pergi sekeluarga, menyembuhkan luka lama, family time, mengingatkan kalau kami tidak sendirian.

Entah apa yang membuatku masih berpikir kalau ada harapan. Kalau dia hanya tersesat saat ini. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Kami bermimpi bahwa kami bisa memiliki rumah kecil suatu hari nanti. Aku ingat benar dia pernah mengatakan kalau tadinya ia hanya bermimpi memiliki apartemen kecil, hanya berdua dengan Huskynya, kerja serabutan. Kubilang 'kamu tidak sendirian sekarang' dan ia memang tidak akan pernah sendirian.

Melihatnya, melihat ayahku, aku mulai bisa memahami mereka sedikit demi sedikit. Kenapa ayahku memasang pelacak di sana-sini, membuka email, memasang pengawas, segala macam, seakan terkena paranoia kalau kami yang terdekat dengannya dapat sewaktu-waktu berbalik padanya. Ayahku adalah orang yang sebenarnya lembut, menyayangi keluarganya, dan aku terkadang lupa kalau masa lalunya tidak sebagus sekarang.

Dia anak yatim piatu yang dibesarkan kakaknya. Anak yang tidak dianggap, besar di antara keponakan, padahal sebenarnya dia juga masih kecil. Merasa seperti anak tiri, seperti pembantu. Anak kampung yang terpesona melihat kota. Anak yang sering dipukuli waktu kecil tapi bisa bersumpah tidak akan memukul anak-anaknya kelak. Saat ibuku pergi, dulu sekali saat mereka masih berpacaran, dia depresi dan katanya nyaris bunuh diri. Tapi lihat mereka sekarang. 30 tahun berlalu. Yang mereka rayakan bukan hari pernikahan, tapi hari mereka jadian. Kurasa itu manis.

Aku mungkin baru sebentar bersamanya, tidak lantas kami pasti akan terus bersama. Tapi aku melihat sebagian kecil ayahku dalam dirinya dan mungkin karena itu aku bisa mengerti keindahannya. Kalau dia hanya ingin dicintai, dan karena tidak pernah dicintai sebelumnya, merasakan ketakutan yang begitu besar karena tidak bisa mengontrol banyak hal.

Terakhir aku menulis di sini adalah tahun 2009, sekarang 2012 dan aku sudah berjalan begitu jauh. Sekarang dengan pemahaman lebih banyak, aku bisa yakin mengatakan kalau aku benar mencintai dia dan dia patut diperjuangkan. Dia orang pertama yang menyadarkanku akan banyak hal, yang membuatku bisa bersyukur dan menikmati hal-hal kecil dalam hidup, yang membuatku menghargai teman-temanku, yang membuatku mau terbuka, membuatku berani mencoba banyak hal demi mimpi kami. Aku hanya ingin bisa menggandeng tangannya di tempat umum tanpa malu.


Dan aku percaya hari itu akan tiba.



Minggu, 28 Juni 2009

Vanity Rebuked

I was shuffling over random files in my laptop and found an essay on Camus I had made when I was in the US last year or maybe two. Time sure goes fast and I really like how fast it went and be forgotten, or not. Many memories, for the weird workings of human mind always puzzled me, will never be gone from our heart and clasped our very breath each time it rekindled like an old flame, bursting, the flower, the red color on the apple of our cheeks which brought shame and regret and the long face, the pout, and then tears. And how lucky was I that never once I shed a tear over those memories now, for as long as I remember after my arrival at home. By which it means that I must have accepted that it had happened and have little regret of it.

What for must I wallow the sorrow those memory brought forth? The lessons were taught and, do believe me, that I had learned. By far, by the writings of Camus again, I have learned to accept faith as it is and once more reminded that life itself will burst so bright nearing its end and then all was lost. For every life started, it will all end in death and that is how the world spins around. For men to accept its faith is the most excruciating of all mission they ever be sent to earth for. I always think why would God sent us here? What was his intention? Every answer muddled my mind even more, so I accept it the way it is and stop questioning whether God ever exist or not, that the Faith was a gift itself and for it I wouldn’t have to question no more.

And I wonder when I saw the tears on my grandmother’s face, of hearing her wails so bitter and caressed her contorted face which shrink and withered in an instant as such a dried plum will, and of hearing my aunt’s shouts of how it wasn’t a proper act a good Muslim woman should conduct on the death of their relative, even their own brother. Standing among those veiled saints was I without any veil nor a single thread to cover my hair, standing was I holding my mother which hold her own mother which tearing her clothes in throes of sorrow, and ponder how inhumane was it to not feel for it is a mean of defying the God. By God’s will that every men must die and such is the time of His choosing, for us, his good followers, the faith was bound to keep us from feeling the pain of losing our kin.

My grandmother is a good Muslim, in my opinion, in my knowledge which perhaps inferior and lacking in many aspects of judging, for it was biased by the link of our blood, but how her faith had failed to protect her from her sorrow moved me. As I saw her trying to keep the waters at bay, feigning a calculated measure; a straight face, for I if no one had told me or she not stayed too long, will never caught the scent of anguish, had my grandmother did not at once let the dam broke free and her measure broken. She, with all her dignity intact or not I never know, went weak on her knees and fell on the floor weeping at last a few minutes after the call informing the passing of my great-uncle.

The shouting started and I, for every ounce of respect I held for my elders, cannot bear the sight of my aunt shouting recitals of the holy book and reminding my grandmother that it is improper to cry, that it is an act which question the God. Then I question myself; what are the tears made for? What is the Faith given for?

Of what, as it is the most vital means of surviving, will protect us from sorrow if Faith fails to do so?

By means that her Faith was not polished to its highest degree, thus proven, that I, myself, shall experience a more terrible anguish had it was my own sister whom passes away before me, for my faith has never been the purest of form. My father, my mother, those I loved and how ugly was I to not shed a tear over a great-uncle whom once, or few times more, had hold me in his arms and praised me for my achievements. The emptiness plagued me and for many times I had pondered on the absent of tears, of how perhaps my ability to melancholy was reduced to a state of—but then again, what for? Shall I, again, shed tears as I have done many times before over the passing of those close to me? For death itself has gained such an effect on my mind, my soul torn every time it gets close by then it mends and heal itself. The death of a friend—nay, friends. Of those I once cherish. Those faces long forgotten now, for never once I looked back and mingle with the memory with great joy, but a troubled feeling of uneasiness.

As Camus had written over Sisyphus, once again I declare I am happy. As I was before, as I am now, as I will always be. Of vanity rebuked and the mind shackled, soon my soul will be broken if I intend on questioning everything instead of living the years life has given me. And as Keats had said, I shall seize the days. For the curtains of the unknown had peered over my shoulder and knocking at my door the hands of the damnedest soul, the fire of purgatory will touch my skin before I ever set my eyes upon the gates of Heaven. And for that, I am thankful.

Minggu, 31 Mei 2009

Random Words

Dan di atas itu adalah judul paling nyebelin setiap gue ke blog orang, karena isinya pasti ngelantur dan gak menarik. Well, hunny, sekarang gue lagi nyebelin dan gak menarik. Kapan sih gue nggak, sebenernya? Tapi entah sejak kapan gue selalu perlu untuk menulis sesuatu, seakan kepala gue gak pernah bener-bener berhenti mikir suatu cerita, atau gue ngeliat apa langsung kerangkai kata-kat.

Ah, IH brengsek.

Gue suka lagi. Tapi lama-lama gue heran juga kenapa gue selalu ke sana, setahun sekarang, hampir. Ngapain juga? Karena gue seneng kalo ada yang bilang mereka menikmati tulisan gue. Dan kebiasaan buruk gue adalah gue gak pernah nyelesain apa pun yang gue mulai walaupun gue tahu gue bisa. Setiap gue lagi sibuk, gue selalu pengen nulis buku atau ngelukis sesuatu, tapi gak ada satu pun yang beres. Jadi di sana, di mana gue bisa nyicil cerita pake postingan pendek-pendek tapi udah cukup untuk membentuk cerita, menghidupkan karakter-karakter, dan orang menikmatinya, itu amat menyenangkan loh. Beda, emang, di dunia nyatanya juga banyak yang bilang suka tulisan gue.

Kecuali bokap gue.

Njrit. Sebel juga sih, gue bikin puisi lah, cerita lah, semua bilang suka, kecuali bokap gue. Bukan, bukan karena dia an a**hole, tapi karena dia emang gak ngerti. Titik. Dia gak ngerti. Yah, gak semua orang diciptakan untuk menikmati tulisan, bokap gue orangnya teknik banget. Gini yah, pernah waktu itu gue homesick banget pas di Amrik dan gue tulis satu puisi buat bokap gue. Berikut-berikutnya gue telpon, gue diceritain, nah bokap gue tuh gak ngerti maksud puisi gue apa, sampe akhirnya adek gue yang baca, translatein (sebenernya bokap gue juga bisa bahasa inggris mah) dan adek gue nangis. Terus nyokap gue juga nangis. Nah, baru abis itu bokap gue terharu--tapi ga sampe nangis.

...Hm.

Dan gue join itu forum juga karena diajakin aja, ga ada persiapan apa-apa, simply karena bahasa gue kaco, itu aja. Cerita on the spot semua, paling kepikiran plot juga sambil lalu, tapi gue selalu memimpikan mereka aja, karakter-karakter itu. Membayangkan di satu tempat ada seorang yang memiliki sifat kayak begitu. Beberapa bilang mereka itu bagian diri gue yang difragmentasi dan jadi hidup masing-masing, jawabannya? Gak mungkin. Gak mungkin cuma gue, serius, tapi juga sebagian orang-orang di sekitar gue. Contohnya... Bokap gue yang sebenernya Slytherin abis dan nyokap gue yang Hufflepuff abis. Sifatnya. Untung nyokap gue gak lemot, nyokap gue pinter men... Anak beasiswa dari dulu, kurang pinter apa? Katanya sih dia menang rajinnya, itu satu poin, tapi dia juga pinter.

Nyokap gue... Orangnya setia mampus, family-oriented. Dia sih pengennya sekarang pensiun aja, toh dia gak pernah mimpi muluk mau hidup kaya. Masa katanya dulu tuh cita-cita dia jadi pemilik lumbung padi, punya sawah banyak... Gue diem aja tuh, gatau mau komentar apa. Atau jadi penjahit, dulu seneng banget ngejahit baju sendiri. Atau jadi pramugari buat keliling dunia, tapi tinggi dia cuma 155. Pokoknya mimpi nyokap gue berkisar sekitaran situ deh. Bikin restoran kek (yang ini gue dukung abis, soalnya masakan dia enak XD), jualan kue, dsb. Abisan akhir-akhir ini dia kalo pulang kerja suka stress, dan gue tahu ortu gue suka berantem urusan bisnis keluarga. Dan nyokap selalu nyalahin ambisi bokap gue, dia sendiri sih maunya pensiun dan bergumul di rumah aja ngapain kek...

Hapel. Hapel abis. Tapi sebenernya mulut dia pedes loh, cuma nyokap gue polos sih, jadi terima kasih ya Allah, gak jadi parah itu mulut. Kalau kalian tahu aja keluarga dari nyokap--AAAAAGH! Slytherin abis itu semua... Mulutnya naujubillah, muka duanya lebih lagi, pengen gue gamparin. Untung bargaining point gue tinggi. Mau ngatain apa mereka? Nyokap gue udah sukses, keluarga gue adem ayem, emang mereka? Poligami, tapi miskin. Mau komentarin guenya gagal jadi cewek gak bisa masak, gak manis, gak ayu? Sini ngomong sendiri, gue masuk ITB mereka masuk apa? Lulus SMA aja kagak. Iya gue sombong, biarin, mereka ngatain nyokap gue yang nggak-nggak. Mau bilang dia gagal ngedidik anak? Emang anak mereka lebih bagus dari gue apa? Muka kumel, badan kontet--biasanya mulut gue disentil ama nyokap gue tiap abis ngomong gini (nyokap gue gak suka ngehina fisik, iya sih rendah banget, tapi nyokap gue masih oke kalau menghina sifat-sifat laen). Dan tiap pertemuan keluarga, gue nahan diri dan pasang senyum, atau pergi kabur, rasanya pengen gue jawab semua komentar mereka. Soalnya.... Mereka tuh mau nyindir ato muka dua tapi keliatan banget!!! AGH! Kalo mau nipu yang pinteran dikit kek! Gue juga sebel kali ditipu setengah-setengah!

Ada satu temen dari IH yang bilang ke gue; Prad, gak semua orang bisa ngerti, karena gak semua orang IQnya 120 ke atas. (Wah, random) Terus gue baru sadar. Darling, semua orang di sekitar gue IQnya 120 ke atas, 150 malah dan gue ini bego dibanding mereka. Macam makhluk seperti bokap dan adek gue yang bilang mereka menikmati fisika sementara gue muntah darah tiap kali harus ngerjain soal fisika. Tes USM kemaren aja gue gak isi soal-soal fisika sama sekali, daripada salah! Iya, separah itu. Semoga gue oke untuk fisika terapan, gue perlu, man!

Ah, kembali ke soal IQ. Adek gue selalu segan mau ngedit, ngritik tulisan gue kalo gue minta pendapat, karena dia bilang dia aja nulis masih gak becus. Tapi gue tahu dia hebat, dan gue percaya pendapat dia. Gitu halnya ke banyak orang, kalo mereka emang orangnya cerdas, pinter, dan bisa dipercaya, gue sangat menikmati kritikan mereka. Nah, tapi kalo orangnya bego? Hm... Maaf ya kalo gue kasar... (gak juga sih) Tapi gue kok cuma bisa senyam-senyum muka dua mode on tiap ada orang macam itu? Yang keabsahan penilaiannya amat diragukan ditilik dari kemampuan dia sendiri atau memang artikulasinya yang jelek? Bukan soal umur, darl, mau mereka lebih muda juga gue terima. Bahkan banyak orang yang jauh lebih muda dari gue yang gue amat kagumi. Ato misalnya temen-temen sekolah gue yang mereka tuh gak perlu ke luar negeri dulu kek gue untuk punya pikiran seterbuka itu. Tapi emang yah, orang macam... Ini selalu ada.

Yeah, yeah, gue bisa ngomong apa aja di sini. Toh gue hanya akan menohok mereka yang merasa. Dan peduli apa gue ama mereka, hm? Mau mereka mati juga paling gue kasih jari tengah. Yeah, mereka juga akan melakukan hal yang sama ke gue kayaknya karena begitulah dunia; kejem. Gue kejem, udah banyak yang bilang. Tapi ada aja kok yang bilang gue baek. Jadi itu relatif. Dan ini adalah satu pendapat relatif mengenai orang-orang yang pikirannya... Menjijikan buat gue. Piciknya menjijikan. Wah, gue udah berpindah ternyata, gak ngomongin soal tulisan gue lagi, tapi orang-orang keseluruhan. Yang gue suka dan yang gue nggak...

Hh. Mungkin udah saatnya gue pergi dan beneran nulis sesuatu. Biar penerbit aja yang ngerating tulisan gue dan mereka yang berkoar-koar tulisan gue menjijikan, nih, jari tengah. Ngapain juga beli buku gue kalo gitu? Hanya... Mimpi. Kapan coba gue bisa nulis buku beneran?

Random lagi...

Menurut gue ini gara-gara urusan IQ yang diomongin seorang temen gue itu. Iya, bener. Gak semua orang IQnya nyampe. Tapi masa iya sih? Ni target pembunuhan nomor 1 anaknya katanya pinter, kok? Gaaaaah... Gue kangen ni temen gue yang ngomen soal IQ itu =)) =)) I heart him, really...

DIA MANA SIH??!

Pergi. Muak, katanya. Bukan ama gue. Tapi karena gue gak bisa pergi, ya dia bye2 baik-baik, gue mohon-mohon juga dia pasti pergi. Aduh email terakhir juga... ._________. *jadi pengen nangis* Gue juga eneg. Eneg. Padahal dia bukan tipe yang baca buku, but he likes what I wrote... Ini waktunya gue juga pergi?

Gue pengen clayshot. Beneran pengen. Gak perlu muffler atopun kacamata pelindung, just gimme the gun and throw the object. BANG!

Adek. Adek gue tuh apa yah? Gryff, Huffle, Raven, atau Slyth? Raven. Kata gue sih. Ah, tau ga sih dia bilang apa tentang gue? Dia suka gue yang sekarang. Gue aja udah lupa kapan terakhir gue berantem ama dia... Dulu ya, rasanya gampang banget kita berantem. Selalu berakhir dengan adek gue nangis; katanya omongan gue tuh bisa jahat banget. Gak perlu pukul-pukulan, jambak-jambakan, cukup kata-kata. Jahat banget sih gue.... Maaf ya, Ino.

Kontrol diri gue sekarang udah jauh lebih baik, sebenernya, walaupun pilihan kata gue dan jalan pikiran gue mungkin lebih kejem dibandingin masa dulu, dulu gue masih lebih polos dan bego, tapi sekarang lebih kekontrol. Di sekolah gak ada yang ngira gue pemarah, udah beda banget deh! Paling ada sih satu dua yang pernah gue kelepasan. Kalau orang lihat bagian dalemnya sih serem, kali yah...

By the way, ini kayaknya minggu yang aneh deh. Mantan gue dua-duanya menghubungi gue lagi. Gak gue tanggepin lah. Yang satu udah mulai sayang-sayangan lagi... Yang satu; gue bilang ke dia gue lesbi aja biar dia diem. Yeah, that bad. Mereka sebenernya kenal gue dalemnya gak sih? Gue tau sih cara untuk mendapatkan mereka balik (pede amat ya?) tapi yah... Mengerikan ah.

Gue membayangkan seorang kribo yang memuka dua-i gue, berbaik di depan dan menghujat di belakang. Tahukah dia gue tahu? Pedulikah gue? Sepeduli itu ama kecoak kah? Iya peduli, karena gue pengen di depan dia ngasi jari tengah dan ngatain dia... Sekaliiii aja XD Beneran, gue pengen liat dia nangis mengampun. Gara-gara hal kecil... Hm. The old monster is back, I guess. Gue inget dulu, karena hal sepele begini gue bikin adek gue sendiri bercucuran air mata. Masa gue gak mampu sih ke kecoak beginian?

Kontrol diri, kontrol diri...

Salah gak sih? Gue gak mau dikritik jelek ama orang jelek, gak mau dibilang bego sama orang bego. Sombong emang. So? Hak apa mereka bilang ke gue gitu duluan? Ini, sayang, jari tengah.

Selasa, 12 Mei 2009

Fine

Fine.

Fine, fine.....

It's fine................

.....................................FINE.

.......Nah, it's fine.......

....................................................................................

Hell yeah, I'm fine..................

.................................fine.........

Fine.

......................................
Okay, fine.

.....GEEZ! FINE!

...............................................................Hhh.... fine.

....................HAHHAHA!! Fine.

Fine, thank you..............................................

No, it's fine.....

............................................................................................

.................................................................................

..........................................................

......................................

I'm fine.



Fuck, I'm fine.




Selasa, 21 April 2009

CCTV

Gue online. Lagi Ujian Nasional, iye gue tahu. Gue lewat di ruang tamu ber-CCTV bawa novel yang disamarkan jadi buku pelajaran... Asal ga buka laptop, gue aman. Asal kamar gue ga dipasangin CCTV gue aman.

Asal blog ini ga ketahuan ortu gue, gue AMAN.

*Ketawa stress* Najes, rumah gue berasa apaan ada 3 CCTV yang gue lupa keberadaannya sampe tadi dibahas lagi. Iya, saat Smansa heboh karena beberapa kelas dipasangin kamera pengawas, gue sudah melewati itu semua dan idup di rumah ber-CCTV. Bukan, bukan karena rumah gue gede dan isinya berharga atau penghuninya mantan napi semua. Bukan, bukan, cuma karena BOKAP gue pengen aja. Ga ada kerjaan. Mana bisa diliat di internet pula... BUAT APA COBA??? =)) Katanya sih biar kalo lagi keluar kota, dia bisa ngecek rumah kapan aja. Dengan bangga bokap gue nunjukkin gambar gerbang, ruang tamu, dan kamar kerja dia (zona merah berkamera) saat kita lagi di Hongkong, di Malaysia, pas ke Bali kemaren, pas ke Thai dulu... Bahkan waktu gue di amrik, dia suruh gue buka web alamat CCTVnya yang servernya ada di rumah.

Iya, rumah gue ada server 24-jamnya.

Bokap gue moderator beberapa forum temu kangen ama temen2 lamanya, berdua ama nyokap. Dua-duanya punya friendster, facebook, ym, myspace, apalah... Mereka ikut semuanya. Pastinya gue juga segaul mereka kan?

NGGAK! Justru gue parno karena mereka ada di mana-mana dan bisa mengakses gue kapanpun lewat jalan manapun! Mereka bisa tahu rahasia temen2 gue yang curhat di frenster ato fb yang bahkan ortu mereka aja gatau. Gimana gue ga parno coba??

Oh, Tuhan. Blog ini adalah satu-satunya tempat aman bagi gue karena ortu gue GATAU alamat blog gue =)) Laptop gue digerendel dengan bejibun password aneh supaya ortu gue ga bisa buka. Gue ga pernah buka blog gue selaen di laptop, kalopun pake laptop bokap, pasti gue apus alamatnya dari history. Kamar gue berbagi dengan adek gue, which means kalo gue simpen diari, bisa dibuka dengan mudah, sapa tau pembantu gue beres2 dan bukunya nyasar ke tempat adek gue. Bahaya, udah gitu males. Lagian buku diari keknya rada-rada jaman pertengahan gituh rasanya... Gue males nulis teratur.

Anyway, gue masih parno tapi tetep aja buka inet. Sbodo. Long gone the time waktu gue kalap saat tahu wajah gue terpampang di sebuah album online keluaran bokap gue yang gak gue tahu keberadaannya sampe seorang temen gue bilang dia baru liat website gue. Website apaan? Tanya gue waktu itu. "Website narsis elo, isinya foto elo semua..." Na-najes. Gue langsung tahu itu kerjaan bokap gue. Astagfirullah =)) Kurang kerjaan amat... Dan sekarang gue sedang menghadapi anceman nyokap untuk segera bikin FB karena kalo nggak mereka akan buatin buat gue... Dan mereka bisa masang foto2 gue dong?

ASTAGA TIDAK! =))

Gue bukannya gimana2 ya... Tapi lo tahu ga sih rasanya kalo ortu lo begitu ngebet pengen bisa add FB elo supaya bisa komen wall-to-wall gitu? Kalo ga diapprove nanti gue jadi anak durhaka dong! Oke, kembali ke topik CCTV awal. Tadi tuh kan gue dijemput di skul abis UN (mana ketahuan lagi ngeliatin dagangan abang2 penjual dvd game di depan sekolah pula) dan diboyong untuk cari makan oleh kedua ortu + adek gue. Mereka baru abis dari dokter, ade gue di-ct scan soalnya ia sakit kepala mulu dan diduga ada pembengkakan saluran cairan otak atau pembuluh darah meibi. Yah, ga stroke ini, jangan sampe deh. Dan ternyata ct scan itu mahal sekali, sodara-sodara! Ade gue yang pelit naujubile dan amat mahir memanfaatkan orang tua kami agar dia ga perlu keluarin duit jajan itu sampe shock dan bilang ke nyokap gue kalo lebih baik tagihannya diambil dari tabungan dia aja. Kalo perlu dicicil. Eh, ngga ding. Bayar tunai. Soalnya dia tajir banget sih, beda ama gue =))

Ternyata gen lebai tidak melewati adek gue--walo sebenernya keluarga gue tuh justru sangat anti-lebai, kami adalah kontra-nya lebai. Sangat down-to-earth, mellow, liat aja nih gue lagi mo UN masih sante... Bokap gue juga orngnya sante... Ade gue--BEUH--bisa ga mandi dia seharian nongkrong nonton tv kabel ato maen game. Hanya nyokap gue yang lebai. Nah, itu anomali =)) Untuk menetralisir kelebaian nyokap gue, maka kami semua menjadi manusia vegetatif yang amat pasif. Tadi itu ade gue menunjukkan trait lebai yang cukup signifikan.

Shit. Nyokap gue pulang. Off dulu. Bye, lanjut ntar.