Minggu, 01 Juli 2012

Another Chapter

Entah apa ini akan dibaca oleh orang, aku yakin masih ada satu orang yang akan membukanya dan aku menulis ini untuk dia.

Dia yang pernah bilang "if you can forgive your past, you can simply be mine."

Aku tidak pernah sepenuhnya memaafkan masa lalu, hanya di mulut semata, dan mungkin itu kenapa kami mengalami perpisahan ini sekarang. Banyak orang bilang aku ini orang yang polos padahal aku tidak merasa begitu. Baru akhir-akhir ini aku menerima fakta bahwa, ya, aku ini polos dan aku begitu karena aku memilih menjadi polos.

Kemarin itu aku memutuskan pulang untuk menenangkan pikiran. Tapi memang dasar cengeng, aku menangis di jalan dan alhasil malah tersesat ke belantara Jakarta. Tanpa uang, tanpa bensin cukup, tanpa tahu arah. Selalu pikiran pertamaku adalah menelpon dia tapi baru kuingat aku tidak bisa lagi bergantung padanya.

Jadi aku menelpon rumah.

Ayahku langsung bilang dia akan menjemputku, tidak perlu takut, tidak perlu panik, 'Ayah akan datang'. Saat itu aku menyadari betapa aku masih bocah, betapa aku begitu bergantung pada orang tuaku, dan nyaris merasa apa perjalananku ke Semarang-Solo kemarin hanya mimpi. Aku menunggu di sebuah rumah makan pinggir jalan, berpikir apa yang merasukiku kemarin berangkat ke Semarang tanpa bekal memadai, hanya karena kata hatiku mengatakan aku harus pergi dan memperjuangkan cinta. Seandainya dia tidak menjemputku, aku pasti akan kena bahaya.

Aku masih bocah. Walaupun tubuhku wanita, aku masih bocah.

Saat ayahku datang aku langsung menangis di pelukannya. Dia hanya tertawa dan bilang ayo kita pulang. Perjalanan singkat yang harusnya hanya 3 jam berakhir menjadi 7 jam, di jalan aku berbicara dengan ayahku lebih banyak daripada yang biasa kuhabiskan saat aku tinggal 3-4 hari di rumah.

Rumahku mungkin besar sekarang, tapi 'home' yang selalu kubicarakan bukanlah bangunan gedongan yang kini orang bilang rumahku. 'Home' bagiku adalah rumah kecil yang paling juga sepetak. Yang dahulunya aku berkamar berdua dengan adikku, di kamar mungil yang lebih kecil dari kamar-kamar di rumah Solo yang kuinapi kemarin. Home. Hari itu aku pulang ke 'home' hanya karena ayah ibuku ada di sana. Minggu lalu aku juga merasakan pulang hanya karena 'dia' berada bersamaku.

Saat aku pulang, kami bertiga tidur di satu kamar. Rumah ini kepalang besar, bukan untuk orang kampungan seperti kami yang terbiasa tidur berhimpit-himpitan. Di antara ayah dan ibuku, aku menerima pesan menyakitkan dan aku harus menyembunyikan wajahku di bawah selimut agar mereka tidak melihatku menangis.

Lalu ibuku memelukku, setengah tertidur, dan ayahku berkata.

"Mbak, kamu itu mirip sekali sama ibu. Kalau kamu punya pendamping nanti harus yang seperti ayah. Yang bisa melindungi."

Aku tahu 'dia' tidak mungkin masuk ke dalam perhitungan orang tuaku, tapi langsung aku memikirkannya. Saat aku, si bocah bego, pergi ke Semarang tanpa pikir panjang, aku juga menunggu di stasiun dengan kenaifan murni yang percaya kalau dia akan datang dan aku tidak akan terlantar. Dan saat dia datang, aku tahu kalau aku akan dilindunginya.

Sulit untuk tidak membandingkan keadaanku dengan keadaan orang tuaku tahun lalu. Katanya ayahku yakin benar ibuku berselingkuh. Karena ibuku memiliki banyak teman, baik wanita mau pun pria, karena ibuku suka menggunakan BB-nya di kamar padahal ayahku berbaring di sisinya. Banyak kata-kata kasar yang terlempar, banyak benda dihancurkan, dan aku serta adikku menjadi saksi bagaimana wanita kuat seperti ibuku menjadi tak berdaya. Bersumpah sampai akhir kalau dia tidak bersalah.

Lucu. Ironis, malah, kalau aku mengalami hal yang sama persis.

Enam bulan lalu, aku menangis di depannya, bingung apa aku harus pulang untuk ibuku atau tidak. Saat itu pertengkaran orang tuaku sedang memuncak. Dia menenangkanku. Saat ini posisi kami berbeda.

Dulu ayahku pergi meninggalkan rumah, ibuku menyusulnya. Kubilang pada mereka dengan enteng, 'bercerai sajalah', tapi ibuku tidak mau, ayahku padahal sudah keras hati. Mereka yakin ini cinta sejati, aku mencibir dengan sinis. Ironis sekarang aku baru mengerti.

Ibuku pernah memohon agar aku pulang. Bertanya apakah ayah dan ibu yang membuatku enggan pulang, katanya 'maklumlah, memang begini adanya'.

Kemarin aku pulang dan kulihat mereka sudah akur kembali. Memang tidak mudah, karena ayahku amat keras dan punya pemikiran sendiri yang tidak bisa dipahami orang lain. Tapi dulu pun saat ibuku dibuang ke jalanan, ayahku yang datang menjemputnya. Karena itu ibuku yakin bahwa ayahku lah pendamping sejatinya.

Aku bersumpah pada orang itu kalau aku setia. Masa laluku mungkin kelam, masa lalu dia lebih kelam lagi. Kami memulai semuanya bukan sebagai orang lugu yang tidak pernah mengalami pahit, sesama sinis hanya yang satu menggunakan kepolosan sebagai senjata yang satu lagi mengeraskan hati.

Aku sendiri bingung kenapa aku tidak berhenti-berhenti juga mencintainya. Mungkin aku melihat refleksi orang tuaku dalam hubungan kami? Ibuku selalu bilang dia pintar tapi mungkin tidak sepintar ayahku, yang diyakininya adalah ia bisa mencintai ayahku saat yang lain berpaling sekali pun. Memang benar adanya. Ibuku tidak lantas pergi saat ayahku bangkrut, ibuku menawarkan diri menjadi yang dipenjara kalau-kalau hutang ayahku tak terbayar, kami dapat hidup berkecukupan karena ibuku ada di samping ayahku dan ayahku ada untuk membimbing ibuku.

Aku melihat bagaimana ayahku menyakiti dirinya sendiri, melihat bagaimana ibuku mendampinginya melewati masa-masa sulit itu. Agustus nanti kami akan pergi sekeluarga, menyembuhkan luka lama, family time, mengingatkan kalau kami tidak sendirian.

Entah apa yang membuatku masih berpikir kalau ada harapan. Kalau dia hanya tersesat saat ini. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Kami bermimpi bahwa kami bisa memiliki rumah kecil suatu hari nanti. Aku ingat benar dia pernah mengatakan kalau tadinya ia hanya bermimpi memiliki apartemen kecil, hanya berdua dengan Huskynya, kerja serabutan. Kubilang 'kamu tidak sendirian sekarang' dan ia memang tidak akan pernah sendirian.

Melihatnya, melihat ayahku, aku mulai bisa memahami mereka sedikit demi sedikit. Kenapa ayahku memasang pelacak di sana-sini, membuka email, memasang pengawas, segala macam, seakan terkena paranoia kalau kami yang terdekat dengannya dapat sewaktu-waktu berbalik padanya. Ayahku adalah orang yang sebenarnya lembut, menyayangi keluarganya, dan aku terkadang lupa kalau masa lalunya tidak sebagus sekarang.

Dia anak yatim piatu yang dibesarkan kakaknya. Anak yang tidak dianggap, besar di antara keponakan, padahal sebenarnya dia juga masih kecil. Merasa seperti anak tiri, seperti pembantu. Anak kampung yang terpesona melihat kota. Anak yang sering dipukuli waktu kecil tapi bisa bersumpah tidak akan memukul anak-anaknya kelak. Saat ibuku pergi, dulu sekali saat mereka masih berpacaran, dia depresi dan katanya nyaris bunuh diri. Tapi lihat mereka sekarang. 30 tahun berlalu. Yang mereka rayakan bukan hari pernikahan, tapi hari mereka jadian. Kurasa itu manis.

Aku mungkin baru sebentar bersamanya, tidak lantas kami pasti akan terus bersama. Tapi aku melihat sebagian kecil ayahku dalam dirinya dan mungkin karena itu aku bisa mengerti keindahannya. Kalau dia hanya ingin dicintai, dan karena tidak pernah dicintai sebelumnya, merasakan ketakutan yang begitu besar karena tidak bisa mengontrol banyak hal.

Terakhir aku menulis di sini adalah tahun 2009, sekarang 2012 dan aku sudah berjalan begitu jauh. Sekarang dengan pemahaman lebih banyak, aku bisa yakin mengatakan kalau aku benar mencintai dia dan dia patut diperjuangkan. Dia orang pertama yang menyadarkanku akan banyak hal, yang membuatku bisa bersyukur dan menikmati hal-hal kecil dalam hidup, yang membuatku menghargai teman-temanku, yang membuatku mau terbuka, membuatku berani mencoba banyak hal demi mimpi kami. Aku hanya ingin bisa menggandeng tangannya di tempat umum tanpa malu.


Dan aku percaya hari itu akan tiba.



Tidak ada komentar: