Selasa, 03 Februari 2009

Masochist

Hari ini gue pelit senyum.

“Pake abotil aja, Prad.”
”Ga mau.”
”Ih. Bentar! Sakit dikit terus sembuh!”
”Gak. Gapapa, gue masochist, gue menikmati sakitnya.”

Entah kenapa si Dio ketawa terbahak-bahak. Sementara gue, bersungut-sungut, sambil mengapit soal mencari jenius yang bisa membantu gue dalam matematika. Memegangi bibir gue yang kelewat kaku nahan senyum seharian ini.

“Ah, kalo gitu gue masoshist dong? Gue kan selalu dianiaya sama—” Bianca mulai angkat suara.
”Udah lo diem deh, Bi.” Gue dan Aldio langsung membungkam dia bersamaan.

Bianca, si bebek, si absurd, yang sekali lagi—atau selalu?—kelihatan linglung. Aih, kehidupan seringan ini di tengah kepanikan menjelang tes masuk universitas, entah kenapa rasanya berharga sekali? Dan sekali lagi Bogor hujan, seri kedua dari hujan-mendung-seminggu-penuh yang manis, cengeng, hm? Gue menganggap ini romantis. Karena rasanya semua menjadi lebih ramah untuk kehidupan, asap motor bau tengik jatuh ke tanah bercampur air, bau palem basah di depan kelas, kebanyakan anak mendekam di dalam saat istirahat, bergumul berdekatan—soal snmptn di tangan—dan gue bergelung di balik kardigan. Ini pelarian yang sia-sia. Otak, fokus ke depan, kerjakan soal, harusnya begitu. Tapi mata gue seperti berbalik ke belakang kepala, balik ke masa lalu, balik balik balik...

“Mungkin Ibu cuma gak mau nginget semuanya, mungkin Ibu neken semuanya terus tahu-tahu semuanya hilang.“
“Semuanya?“
“Yah, masa-masa SMA. Itu yang paling berat.”

Gue selalu merasa sedikit ngeri membayangkan betapa miripnya Ibu dan gue di dalem. Mungkin dari penampilan, kalian gak akan mengira kami punya hubungan darah. Ibu 155 dan gue 170, Ibu kuning langsat gue sawo burik, Ibu cantik gue… jantan? Tapi kami berdua tahu kalau kemiripan yang ada udah cukup membuktikan kami ibu dan anak. Jadi Ibu mengerti kenapa gue menghindar malam itu, Ibu ngerti kan kenapa aku gak bisa nonton rekaman itu sampai akhir?

”Tapi gimana pun, Mbak, kamu harus selalu inget sama orang-orang yang udah sayang sama kamu selama di sana. Terutama Miss Gretchen, dia udah baik banget sampe ngirimin ini semua.”

Gretchen.

Gretchen. Gretchen. Gretchen Hughes.
I like the way it rolls on my tongue. The name, Gretchen.
”Gretchen? That’s a lovely name, Mrs. Hughes.”
“And yours too, Dee-ta.”

Dia nyebut nama gue dengan cara yang mirip sama Tatyana. Well, mau gimana? Tatyana dan gue sekelas di kelas yang dia ajar. Drama. Drama, it’s easier than sports. Lol. Dan mau-maunya Gretchen memasukan gue ke dalam cast drama walaupun gue cuma anak exchange dengan aksen yang canggung.

“Geez, Lanee adores you.”

Gue tertawa. Lanee, dua tahun, mirip sekali dengan ibunya, cuma rambutnya keriting ikal, pirang, dan mata biru besar yang ekspresif. Lanee. Gretchen seneng banget ngefoto saat Lanee manjat untuk duduk di pangkuan gue, Lanee ikut tiduran sama gue, Lanee dan gue. Bukan gue mau melupakan Gretchen dan lainnya, bukan gue ingin melupakan Sheila dan yang lain. Bukan.

Just. Begone.

Lupakan. Lupakan semuanya. Satu kali gue mengucapkannya terlalu keras, biasanya gue cukup hati-hati untuk cuma berkomat-kamit dan semuanya baik-baik aja dengan begitu. Satu kali gue kelepasan dan Ibu ngedenger. Dia ngelus pelan pundak gue dan membiarkan gue dengan pikiran gue sendiri. Makasi, Bu. Ah, Ibu ngerti kan? Ibu juga pernah kan?

Jadi mari kita lupakan Gretchen untuk sementara karena rasanya gue ga kuat untuk mengingat semuanya.

Pengecut bisanya lari? Menurut lo gue harus gimana? Mengaku semuanya? Please. Satu tempat aman, tolong biarkan para ibu itu tidak terluka. Gretchen dan Ibu, mereka berdua malaikat untuk gue dan apapun akan gue lakukan untuk menjaga mereka tetap ’bahagia’ seperti sekarang. Please, apapun. Mereka Ms. Pennyfeather, Ms. Honey untuk gue dan gue Matilda-nya. Can I, in some wicked nature stored within, find a hidden power to save the little world they live in? Terutama Ibu. Ya Tuhan, hanya seorang yatim yang dulu luntang-lantung di jalan. Ini, rumah ini, kehidupan ini, dia bangun berdasarkan mimpi, apa-apa yang dulu dirampas darinya dan sekarang—sebuah keluarga kecil di rumah yang memang miliknya. Gak ada yang bisa merampas ini dari Ibu dan akan selalu begitu. Ini segala-galanya, harta baginya. Jadi kalian mengerti kan kegawatan permasalahan ini? Kekalutan untuk ngelindungin semua ini?

Eff. Gue meracau.

Oke. Gue panik. Puas? Dan gue menggigit bibir terlalu keras saat akhirnya gue cukup berani untuk ngebuka komputer dan mengirim e-mail ke Gretchen, walaupun dengan begitu berarti gue juga membuka front bagi orang ’itu’ kembali menghantui gue. Bisakah kita tutup aja bab yang lalu dan beralih ke bab berikutnya? Mari sudahi gelombang elektromagnetik dan mulai dengan relativitas dan radiasi benda hitam. Izinkan gue mengutuk dalam bahasa paling kasar.

Gue ternyata emang masochist.

Dalam artian khusus, kalian tahu, karena gue sebenarnya tahu konsekuensinya tapi masih juga gue lakukan. Kenapa? Apa gue menikmati sensasi menegangkannya sementara gue juga tercabik-cabik sekaligus? Itu masuk kategori masochist atau daredevil? Gue mengiyakan Raka saat tahu itu percuma. Gue mengejar orang itu saat gue tahu itu dosa. Dan gue mencintai orang yang salah karena gue tahu itu gak mungkin. Padahal doa Ibu gue cuma satu untuk gue mencari laki-laki yang saleh dan bisa dipercaya. Gampang? Gampang-gampang susah, eneng...

Oh, sayang, gue akan terus lari dari masalah seperti ini, percaya deh. Walaupun gue akan tersandung dan tertangkap beberapa kali, tapi selama gue bisa terus lari dari kenyataan gue akan terus melakukannya karena ini satu-satunya cara utnuk melindungi kenaifan terakhir dalam kehidupan keluarga gue yang bagus di luar dan—dan bagus di dalem. Fine, gue juga tahu perlarian begini akan menyakitkan—dan efeknya berkepanjangan—tapi toh tetep gue lakukan kan? Tinggal gue coba menikmati rasa sakitnya aja, kan?

Dulu gue pernah berpuasa karena gue memutar balik rasa lapar itu jadi berasa enak. Seperti keranjingan meditasi atau semacamnya, itu pernah menjadi pelarian gue untuk sementara. Sekarang sedikit lagi sakit gak ada bedanya. Mungkin satu saat gue bisa seperti Ibu dan semua luka akan terlupakan. Kalau semuanya berhasil gue lupakan. Sebagian besar udah hilang, lagipula.

Forgive and forget.

Itu salah, tapi gue tahu orang yang bisa bertahan hidup justru karena itu.

Tidak ada komentar: